N I S YA, S.H., M.H.
Peneliti pada Puslitbang Kejaksaan RI Email: nisyaa16@gmail.com
Abstrak

Kejahatan transnasional mempunyai sifat dan karakteristik yang sangat berbeda dan kompleks dibandingkan kejahatan pada umumnya, sehingga penting bagi Negara di dunia untuk meningkatkan kerja sama internasional dengan Negara lainnya untuk bersama-sama mengatasi meningkatnya ancaman kejahatan transnasional. Saat ini, semua jenis atau bentuk kejahatan tidak lagi hanya dapat dilihat sebagai yurisdiksi kriminal sebuah Negara saja, namun sering mencakup yurisdiksi kejahatan di lebih dari satu atau dua negara, sehingga dalam perkembangannya menciptakan masalah yang sangat mengganggu dalam konflik yurisdiksi hubungan internasional antara negara- negara yang memiliki kepentingan dalam kasus-kasus pidana tertentu yang melintasi perbatasan regional. Terkait dengan korupsi sebagai kejahatan transnasional, beberapa pelaku korupsi ada menjadi buronan Kejaksaan RI, dan selain itu pada umumnya aset-aset para pelaku korupsi disembunyikan di Negara lain. Pelaksanaan bantuan timbal balik di bidang hukum oleh Kejaksaan RI, memegang peranan strategis untuk dapat mengembalikan kerugian Negara yang diakibatkan oleh korupsi. Permasalahan dalam kajian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan bantuan timbal balik di bidang hukum, khususnya yang dilaksanakan Kejaksaan Republik Indonesia dalam menangani kejahatan transnasional? Metode yang digunakan adalah dengan pendekatan yuridis normatif, melalui cara penelitian kepustakaan (library research) yang akan disajikan secara deskriptif. Analisa data menggunakan penganalisaan normatif-kualitatif dengan jalan menafsirkan dan mengkonstruksikan pernyataan yang terdapat dalam dokumen dan perundang-undangan.

Kata Kunci: bantuan hukum timbal balik, transnasional, kejahatan

IMPLEMENTATION OF MUTUAL LEGAL ASSISTANCE TO OVERCOME TRANSNATIONAL CRIMES BY THE PUBLIC ATTORNEY

Abstract

Transnational crime has characteristics that are very different and complex compared to crime in general, so it is important for countries in the world to enhance international cooperation with other countries to jointly overcome the increasing threat of transnational crime. At present, all types or forms of crime can no longer only be seen as the criminal jurisdiction of a State, but often include crime jurisdictions in more than one or two countries, so that in its development creates a very disturbing problem in the conflict of jurisdiction of international relations between countries who have interests in certain criminal cases that cross regional borders. Regarding corruption as a transnational crime, some perpetrators of corruption have become fugitives of the Republic of Indonesia Attorney General’s Office, and besides that, the assets of corruptors are generally hidden in other countries. The mutual assistance in the field of law by the Indonesian Attorney General’s Office has a strategic role in being able to recover State losses caused by corruption. The problem in this study is how is the implementation of mutual assistance in the field of law, especially those carried out by the Republic of Indonesia Attorney General’s Office in dealing with transnational crime? The method used is a normative juridical approach, through library research methods which will be presented descriptively. Data analysis uses normative-qualitative analysis by interpreting and constructing statements contained in documents and legislation.

Keywords: mutual legal assistance, transnational, crime

I. PENDAHULUAN
Kejahatan lintas negara (transnational crimes) dewasa ini dipandang sebagai salah satu ancaman serius terhadap keamanan global. Pada lingkup multilateral, konsep yang dipakai adalah Transnational Organized Crimes (TOC) yang disesuaikan dengan instrumen hukum internasional yang telah disepakati tahun 2000 yaitu Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United Nations Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC). Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa mengenai Kejahatan Lintas Negara Terorganisir (United Nations Convention on Transnational Organized Crime-UNTOC) yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2009 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi) menyebutkan sejumlah kejahatan yang termasuk dalam kategori kejahatan lintas negara terorganisir, yaitu pencucian uang, korupsi, perdagangan gelap tanaman dan satwa liar yang dilindungi, kejahatan terhadap benda seni budaya (cultural property), perdagangan manusia, penyelundupan migran serta produksi dan perdagangan gelap senjata api. Konvensi juga mengakui keterkaitan yang erat antara kejahatan lintas negara terorganisir dengan kejahatan terorisme, meskipun karakteristiknya sangat berbeda.1
Kejahatan transnasional atau kejahatan lintas negara merupakan pengembangan karakteristik dari bentuk kejahatan kontemporer yang disebut sebagai organized crime atau kejahatan terorganisir pada masa 1970-an. Istilah tersebut digunakan untuk menjelaskan kompleksitas yang ada di antara kejahatan terorganisir, kejahatan kerah putih, dan korupsi yang melampaui batas negara dan berdampak pada pelanggaran hukum di berbagai negara dengan karakteristik berbahaya di tingkat internasional.2 Pada

1 Isharyanto Ciptowiyono, Globalisasi dan Kejahatan Transnasional, Kompasiana, https://www.kompasiana.com/isharyanto/552b6a4a6ea8342f418b4577/globalisasi-dan- kejahatan-transnasional, tanggal 5 April 2013, diakses tanggal 8 Desember 2018.
2 M. Irvan Olii, Sempitnya Dunia, Luasnya Kejahatan? Sebuah Telaah Ringkas Tentang Transnasional Crime, Jurnal Kriminologi Indonesia Volume 4 Nomor 1 September 2005, halaman 20.

perkembangannya, kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa menggunakan istilah kejahatan lintas negara sebagai kegiatan kejahatan dengan skala yang luas dan kompleks yang dilakukan oleh kumpulan organisasi yang rumit yang mengeksploitasi pasar ilegal yang ada di lingkungan masyarakat internasional.3 Sebagaimana telah disebutkan, salah satu jenis kejahatan yang termasuk kategori transnasional adalah Korupsi. Korupsi tidak lagi menjadi masalah nasional, namun telah menjadi sebuah fenomena transnasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan perekonomian secara sistemik, karena mengancam nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu, perlu adanya kerja sama secara internasional untuk mencegah dan memberantas korupsi, termasuk upaya pemulihan atau pengembalian aset-aset hasil tindak pidana korupsi. Hal tersebut perlu didukung oleh integritas, akuntabilitas, dan manajemen pemerintahan yang baik,4 dengan melakukan kerja sama yang intens antar negara, baik mereka yang dirugikan dan mereka yang menjadi tempat pelarian
bagi hasil korupsi sebagai bagian integral dari masyarakat internasional.
Mochtar Kusumaatmadja menjelaskan bahwa adanya hukum internasional itu harus menganggap terlebih dahulu (presuppose, voraustellen) adanya suatu masyarakat internasional yang diatur oleh tertib hukum tersebut, dengan kata lain untuk dapat meyakini adanya atau lebih tepat lagi perlu adanya hukum internasional, terlebih dahulu harus ditunjukan adanya suatu masyarakat Internasional sebagai landasan sosiologis.5 Sebagai bagian dari masyarakat Internasional dengan menggabungkan diri kedalam Perserikatan Bangsa-Bangsa maka secara prinsipnya setiap negara harus tunduk pada hukum internasional yang dituangkan kedalam convention, agreement dan lain lain bentuknya, Perjanjian Internasional misalnya adalah merupakan perjanjian

3 H. Obsatar Sinaga, Penanggulangan Kejahatan Internasional Cyber Crime di Indonesia, Makalah Bahan Diskusi Seminar Nasional Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada tanggal 5 Desember 2016, halaman 7.
4 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan
United Nation Convention Against Corruption 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi tahun 2003), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32, Konsideran.
5 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003,
halaman 11.

yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa yang bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.6
Dalam upaya pengembalian aset perolehan hasil korupsi kerja sama internasional merupakan suatu hal yang mutlak untuk dilakukan. Selain secara komunikasi informal yang dilakukan oleh para pihak dalam memperoleh informasi, bukti, ataupun dalam proses persidangan terkait upaya pengembalian aset, serta cara formal merupakan langkah yang harus dicermati dan dikerjakan dengan sempurna. Bentuk kerjasama internasional yang paling signifikan dalam rangka pengembaalian aset adalah upaya bantuan timbal balik dalam masalah Pidana (Mutual Legal Assistance), yaitu saat satu negara meminta negara lain atau instansu terkait yang berada diluar negeri untuk membantu pengembalian aset tersebut. Dalam bahasa yang sederhana, ini merupakan upaya ‘korespondensi’ antara negara-negara yang berupaya mengembalikan aset ke lembaga negara tempat aset itu berada.
Meskipun kedengarannya sederhana dan mudah, seringkali kegiatan korespondensi ini menentukan keberhasilan atau kegagalan upaya pengembalian aset. Bahkan, dengan perkembangan teknologi perbankan saat ini, upaya penjaga gerbang dalam menyembunyikan uang dari perolehan korupsi di beberapa akun dan perusahaan yang berlokasi di berbagai yurisdiksi dapat dilakukan dalam waktu kurang dari satu hari, beberapa jam, beberapa menit, bahkan mungkin dalam detik. Di sisi lain, kecepatan petugas penegak hukum kita terkadang tidak secepat penjaga gerbang dalam melacak aset-aset ini. Belum lagi ketika dihadapkan dengan masalah teknis administrasi (seperti merancang konsep korespondensi) di lembaga terkait masing-masing lembaga yang sering menjadi masalah (dan membutuhkan waktu tambahan) sendirian.
Sederhananya, untuk melacak aliran dana dan mengidentifikasi lokasi aset, diperlukan surat permintaan yang dikirim ke otoritas atau lembaga terkait

  • termasuk lembaga keuangan di negara tempat aset itu disembunyikan. Masalahnya adalah bahwa permintaan Mutual Legal Assistance yang dikeluarkan oleh negara-negara yang meminta seperti Indonesia seringkali membutuhkan waktu yang lama, dan substansi permintaan dalam surat itu tidak

6 Ibid, halaman 117.

akurat dan efektif, sehingga negara yang diminta tidak merespons dengan tepat. Instrumen hukum anti korupsi internasional mendatangkan tantangan tambahan dengan memberlakukan kewajiban negara untuk mengkriminalisasi penyuapan pejabat asing, dan pencucian hasil korupsi, yang sering terjadi di negara lain selain di negara tindak pidana asal tersebut dilakukan.7
Untuk memfasilitasi Mutual Legal Assistance dalam kasus korupsi, konvensi dan protokol anti korupsi memuat penyediaan bantuan dan kerja sama khusus. Selain itu, konvensi dan protokol tersebut biasanya mendesak negara peserta untuk saling memberikan bantuan timbal balik dalam masalah Pidana seluas mungkin dalam penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pemulangan.8 Ketika pejabat korup yang memanfaatkan sistem perbankan global dapat dengan mudah memindahkan hasil korupsi dari satu negara ke negara lain dalam beberapa detik, di sisi lain, penyelidikan terkadang membutuhkan waktu berbulan-bulan atau bertahun-tahun untuk melacak aset dari satu negara ke negara lain. Oleh karena itu, Mutual Legal Assistance perlu lebih ditingkatkan.
Ilustrasi yang disebutkan diatas menekankan kerja sama internasional
harus dianggap sebagai kunci penting dalam memperoleh bukti yang cukup untuk memfasilitasi penyidikan, penuntutan dan pengadilan para pejabat korup, dimana hal tersebut menjadi hambatan terbesar untuk secara efektif mengatasi rintangan yurisdiksi dan sistem hukum yang berbeda dalam memerangi korupsi. Meskipun demikian, Mutual Legal Assistance sebagai mekanisme khusus telah menjadi salah satu instrumen paling pusat dalam memberantas korupsi.
Model kerjasama internasional dalam kaitan pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional terorganisasi memiliki banyak bentuk, diantaranya: perjanjian ekstradisi, perjanjian bantuan timbal balik dalam

7 Organization of Economic Cooperation and Development, Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions, Pasal 1 (Konvensi tentang Pemberantasan Penyuapan Pejabat Publik Asing Dalam Transaksi Bisnis Internasional) yang ditandatangani oleh 30 negara anggota OECD dan lima negara non-OECD pada 21 November 1997. Konvensi OECD mewajibkan negara-negara yang menandatangani konvensi tersebut untuk membuat undang-undang di negara mereka masing-masing yang mengkriminalisasikan tindakan penyuapan terhadap pejabat publik asing.
8 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nation Convention Against Corruption 2003, Pasal 46 Ayat 1. (sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006).

masalah pidana (mutual assistance in criminal matters), perjanjian tentang transfer dalam proses beracara, dan sebagainya. Di antara model-model perjanjian tersebut di atas, perjanjian ekstradisi dan perjanjian bantual timbal balik dalam masalah pidana merupakan perjanjian yang sangat penting dalam pengungkapan kejahatan transnasional terorganisasi karena telah terbukti efektif sebagai cara untuk mencegah, menangkap, dan menjatuhi pidana terhadap pelaku kejahatan transnasional/berdimensi internasional.9
Mutual Legal Assistance merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dibentuk di antara negara-negara dalam upaya mengatasi maraknya kejahatan transnasional terorganisasi, seperti kejahatan narkotika dan psikotropika, kejahatan pencucian uang (money laundering), dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap kejahatan memerlukan penanganan melalui Mutual Legal Assistance, hanya kejahatan yang berdimensi internasional serta kejahatan yang memenuhi asas kejahatan ganda (double criminality) saja yang memerlukan penanganan melalui Mutual Legal Assistance. Sedangkan yang dimaksud dengan asas kejahatan ganda (double criminality) adalah kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta penyerahan (ekstradisi) adalah merupakan kejahatan atau peristiwa pidana menurut sistem hukum kedua pihak (negara yang meminta dan negara yang diminta).10
Mutual Legal Assistance (MLA) pada dasarnya merupakan suatu bentuk perjanjian timbal balik dalam masalah pidana. Pembentukan Mutual Legal Assistance dilatarbelakangi adanya kondisi faktual bahwa sebagai akibat adanya perbedaan sistem hukum pidana di antara beberapa negara mengakibatkan timbulnya kelambanan dalam pemeriksaan kejahatan. Seringkali masing-masing negara menginginkan penggunaan sistem hukumnya sendiri secara mutlak dalam penanganan kejahatan, hal yang sama terjadi pula pada negara lain, sehingga penanganan kejahatan menjadi lamban dan berbelit-belit.11

9 I Wayan Parthiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1990, halaman 29.
10 Ibid.
11 Elisatris Gultom, Mutual Legal Assistance dalam Kejahatan Transnasional Terorganisasi, https://elisatris.wordpress.com/mutual-legal-assistance-dalam-kejahatan- transnasional-terorganisasi, diakses tanggal 8 desember 2018.

Dalam penegakan hukum, terkadang pelaku kejahatan yang akan diproses, diadili, atau dieksekusi tidak berada di wilayah negara yang akan melakukan proses tersebut, tetapi berada pada wilayah negara lain.12 Ketika penjahat seperti perampok, pembunuh, pelaku terorisme, atau yang sering terjadi di Indonesia saat ini adalah koruptor berhasil melarikan diri ke luar negeri, dan tidak dapat ditangkap karena mereka melewati yurisdiksi penegak hukum Indonesia, kerja sama antara penegak hukum Indonesia dan pihak berkompeten di luar negeri adalah salah satu solusi yang paling mungkin adalah menangkap para buron.
Berdasarkan uraian yang telah dijabarkan dalam pendahuluan, maka penulis tertarik untuk melakukan kajian yang dituangkan dalam karya tulis ilmiah, dimana permasalahan yang akan dibahas secara mendalam adalah mengenai bagaimanakah pelaksanaan Mutual Legal Assistance (MLA) atau bantuan timbal balik di bidang hukum, khususnya yang dilaksanakan Kejaksaan Republik Indonesia dalam menangani kejahatan transnasional? Peneliti memfokuskan kajian ini hanya pada Kejaksaan Republik Indonesia, agar penulis dapat fokus dalam satu bagian, sehingga data yang diperoleh valid, spesifik, mendalam dan memudahkan penulis untuk menganalisis data yang diperoleh.
Metode yang digunakan dalam penulisan kajian ini, adalah dengan
menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan menginventarisasi dan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, melalui cara penelitian kepustakaan (library research) yang akan disajikan secara deskriptif. Sementara itu untuk analisa data, penulis menggunakan penganalisaan normatif-kualitatif dengan jalan menafsirkan dan mengkonstruksikan pernyataan yang terdapat dalam dokumen dan perundang-undangan. Normatif karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai norma hukum positif, sedangkan kualitatif berarti analisis data yang bertitik tolak pada usaha penemuan asas- asas dan informasi baru.

12 Eddy O.S Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, 2009, halaman 40.

II. PEMBAHASAN
Kejahatan lintas negara dewasa ini telah menjadi salah satu ancaman serius terhadap keamanan dan kemakmuran global. Salah satu mekanisme multilateral yang penting dalam menanggulangi kejahatan lintas negara, khususnya yang dilakukan oleh transnational organized criminal groups adalah United Nations Convention on Transnational Organized Crime- UNTOC. UNTOC akan menjadi panduan dasar bagi negara-negara dalam upaya penanggulangan kejahatan lintas negara. Karena letaknya yang strategis, Indonesia rentan terhadap berbagai bentuk kejahatan transnasional. Terdapat beberapa isu kejahatan transnasional di mana Indonesia berperan aktif antara lain perdagangan orang dan penyelundupan manusia; pencegahan dan pemberantasan korupsi; pemberantasan kejahatan lingkungan hidup yang mencakup perdagangan satwa liar, pembalakan liar, penangkapan ikan ilegal, kejahatan pencucian uang; perdagangan ilegal benda-benda budaya; serta pemberantasan narkotika dan psikotropika.13
Pada tahun 2010, Konferensi Para Pihak UNTOC yang kelima telah mengidentifikasi beberapa Kejahatan Lintas Negara Baru dan Berkembang (New and Emerging Crimes), antara lain cybercrime, identity-related crimes, perdagangan gelap benda cagar budaya, kejahatan lingkungan, pembajakan di atas laut, dan perdagangan gelap organ tubuh. Kejahatan Lintas Negara Baru telah menjadi perhatian dari dunia internasional mengingat jumlahnya yang semakin meningkat dan cara yang semakin beragam. Kerugian yang ditimbulkan dari kejahatan jenis ini juga sangat besar. Indonesia terus menerus berusaha untuk mendorong pengarusutamaan kejahatan lintas negara baru melalui berbagai forum internasional seperti pemeliharaan keamanan siber, perlindungan benda dan cagar budaya dari perdagangan ilegal, illegal, unreported, unregulated fishing (IUndang-Undang Fishing), serta perdagangan satwa liar dan hasil hutan lainnya. Hal ini dilakukan mengingat kejahatan lintas negara baru belum banyak mendapat perhatian khusus dari dunia internasional, studi, definisi dan kriminalisasi yang mencukupi. Kerja sama internasional

13 Kementerian Luar Negeri RI, Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara Teroganisir, Direktorat Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata, https://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Penanggulangan-Kejahatan-Lintas- Negara-Teroganisir.aspx, tanggal 20 Januari 2016, diakses tanggal 8 Desember 2018.

dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan tersebut dapat lebih ditingkatkan. Indonesia memiliki kepentingan besar agar kejahatan lintas negara baru dapat diatur secara lebih komprehensif mengingat kerugian besar yang ditimbulkan dari kejahatan tersebut. Kerja sama dalam rangka peningkatan kapasitas penegak hukum, dan pertukaran informasi dapat lebih diperkuat.14
Salah satu contoh kerjasama yang dilakukan penegak hukum dengan Negara lain adalah kerjasama Kejaksaan Agung RI dengan Kejaksaan Agung Federasi Rusia, yang berkomitmen untuk saling mendukung serta memberikan bantuan, khususnya terkait upaya pengungkapan dan penindakan pelbagai kasus kejahatan lintas negara. Penguatan hubungan kerja sama kedua negara merupakan langkah strategis yang perlu ditempuh guna menyelesaikan persoalan tersebut. Jaksa Agung Prasetyo mengatakan penanganan kejahatan lintas negara sangat membutuhkan keseriusan, komitmen, kesamaan pemikiran, tekad, dan sikap dari aparat penegak hukum di level regional maupun internasional. Hubungan kerja sama dan koordinasi formal ini setidaknya akan memberi pesan kuat kepada pelaku kejahatan di kedua negara, bahwa bagi mereka tidak ada lagi tempat aman. Hubungan kerja sama yang memuat komitmen kuat serta telah disepakati bersama, diharapkan mampu menghilangkan kemungkinan adanya sekat-sekat perbedaan regulasi, mekanisme, prosedural, yuridiksi, dan masalah lainnya.15
Sejumlah pelanggaran hukum seperti aksi terorisme, korupsi, perdagangan manusia, narkotika, pencucian uang, penyelundupan senjata, dan kejahatan siber, telah berkembang menjadi kejahatan lintas negara. Kejahatan tersebut tidak lagi dilakukan oleh individu, melainkan sudah dikerjakan oleh jaringan yang terorganisir, terstruktur, sistematis, dan lintas wilayah, yang sulit dijangkau apabila mengandalkan aparat hukum dari satu negara saja. Realitas itu lantaran para pelaku kejahatan dapat berpindah tempat dan tersebar di beberapa negara yang berbeda. Mereka umumnya dapat merencanakan aksi di suatu negara dan kemudian menyelesaikannya di negara lain. Untuk

14 Ibid.
15 Golda Eksa, Kejagung RI Gandeng Kejagung Rusia Ungkap Kejahatan Lintas Negara, Politik dan Hukum Media Indonesia, http://mediaindonesia.com/read/detail/188521- kejagung-ri-gandeng-kejagung-rusia-ungkap-kejahatan-lintas-negara, tanggal 4 Oktober 2018, diakses tanggal 8 Desember 2018.

menghindari pelacakan, jaringan yang terorganisir itu bisa pula dengan mudah memindahkan, menyembunyikan, dan menjual aset yang dikuasai diberbagai negara.16
Pola penanganan untuk menyikapi fenomena itu sudah dilakukan Korps Adhyaksa bersama sejumlah instansi terkait, seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Pemeriksa Keuangan, Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM, Polri, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, lembaga perbankan, dan kementerian/lembaga lainnya. Oleh sebab itu, melalui penguatan dan pembaruan kerja sama kita akan dapat bekerja dan beraksi semakin cepat dan kuat menghadapi, serta memberantas beragam jenis kejahatan yang menjadi salah satu tugas utama kita. Yury Yakovlevich dari Kejaksaan Agung Federasi Rusia menilai, nota kesepahaman tersebut bukan sekadar pembaruan kerja sama bagi kedua negara. Menurutnya pengesahan MoU itu merupakan peningkatan kerja sama bidang hukum antara Rusia-Indonesia ke arah yang lebih tinggi. Ia berjanji segera menindaklanjuti pertemuan itu dengan menggelar kegiatan yang lebih konkret, terutama dalam upaya memberantas kejahatan lintas negara. Kejaksaan Agung Federasi Rusia akan mengimplementasikan butir-butir kerja sama dan saling bertukar praktik terbaik dalam penegakan hukum.17
Secara teoritis, ada sejumlah istilah yang dikenal untuk menggambarkan tindakan yang merupakan tindak pidana menurut hukum internasional, yaitu:18
1) Tindak Pidana yang Berdimensi Internasional untuk menggambarkan tindak pidana yang terjadi dalam wilayah suatu negara dan demikian juga akibat yang ditimbulkan juga masih terbatas di wilayah negara yang bersangkutan, tetapi dalam hal tertentu melibatkan negara lain. Misalnya pelaku melarikan diri ke negara lain atau pelakunya warga negara asing, maka dalam kasus- kasus seperti ini negara lain juga akan terlibat;
2) Tindak Pidana Transnasional yang merupakan tindak pidana yang terjadi di dalam wilayah suatu negara atau negara-negara lain, tetapi akibat yang ditimbulkannya terjadi di negara atau negara-negara

16 Ibid.
17 Ibid.
18 I Wayan Parthiana, Efektivitas dari Kaidah-kaidah Hukum Pidana Internasional dan Nasional Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana internasional, Makalah disampaikan pada diskusi panel Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan Kerjasama Internasional Dalam Pencegahan dan Pemberantasannya, Bandung, 24 Juli 1997, halaman 2.

lain, atau tindak pidana yang pelaku-pelakunya berada terpencar di wilayah duanegara atau lebih, dan melakukan satuatau lebih tindak pidana serta baik pelaku maupun tindak pidananya itu sendiri saling berhubungan, yang menimbulkan akibat pada satu negara atau lebih;
3) Tindak Pidana Internasional yaitu tindak pidana yang menimbulkan akibat yang sangat luas tanpa mengenal batas-batas wilayah negara, tegasnya akibat-akibatnya, baik langsung maupun tidak langsung, dirasakan sangat membahayakan oleh seluruh atau sebagian besar umat manusia di dunia ini. Tindak pidana semacam ini bisa saja dilakukan dalam wilayah satu negara dan demikian juga akibatnya hanya terbatas pada wilayah Negara yang bersangkutan, namun karena masalahnya berkaitan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, tentu saja hal ini tidak bisa dipandang sebagai masalah lokal atau nasional semata-mata melainkan juga menjadi masalah internasional.

Ketiga pembagian tersebut sesungguhnya masih dapat disederhanakan menjadi tindak pidana internasional dan tindak pidana transnasional, dimana butir 1 dikelompokkan ke dalam tindak pidana transnasional. Ada persamaan dan ada perbedaan dari keduanya, persamaan muncul disisi praktis. Dalam praktik penegakan hukum pidana internasional, perbedaan antara kejahatan lintas negara dan kejahatan internasional tidak memiliki arti yang signifikan. Oleh karena itu, kedua bentuk kejahatan tersebut membutuhkan kerja sama internasional, baik bilateral maupun multilateral, dalam upaya penanggulangannya.19
Berdasarkan United Nations Nations Convention Against Transnasional Organized Crime (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Tindak Pidana Transnasional yang Terorganisasi), Tindak Pidana adalah bersifat transnasional, apabila:20
1). dilakukan di lebih dari satu Negara;
2). dilakukan di satu Negara namun bagian penting dari kegiatan persiapan, perencanaan, pengarahan atau kontrol terjadi di Negara lain;
3). dilakukan di satu Negara tetapi melibatkan suatu kelompok penjahat terorganisasi yang terlibat dalam kegiatan kriminal di lebih dari satu Negara; atau

19 Shinta Agustina, Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Andalas University Press, Padang, 2006, halaman 56.
20 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime, Pasal 3 Ayat 2. (Sebagaimana telah diratifikasi kedalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009).

4). dilakukan di satu Negara namun memiliki akibat utama di Negara lain.

Mengenai tindak pidana transnasional ini, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia sudah mengaturnya. Hal ini terlihat dari bunyi ketentuan-ketentuan dalam beberapa Pasal di dalamnya, yaitu antara lain:
Pasal 2 KUHP
Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang melakukan perbuatan pidana didalam Indonesia.

Ketentuan ini selain menunjukkan adopsi prinsip kewilayahan di mana hukum pidana berlaku bagi siapa saja yang melakukan kejahatan di wilayah negara tertentu dalam hal ini Indonesia, juga berarti bahwa orang yang melakukan kejahatan tidak harus secara fisik berada di Indonesia, tetapi deliknya (strafbaarfeit) terjadi di wilayah Indonesia.21 Demikian pula subjek hukum yang melakukannya, tidak terbatas pada warga negara Indonesia saja.
Pasal 3 KUHP
Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia, melakukan perbuatan pidana didalam perahu Indonesia.

Ketentuan ini selain menunjukkan adopsi kewilayahan di mana hukum Indonesia berlaku di wilayah Indonesia, termasuk pada kapal Indonesia di luar Indonesia, tetapi juga menunjukkan bahwa penerapan hukum nasional juga untuk kejahatan yang melintasi batas-batas nasional atau transnasional.
Demikian juga ketentuan lain yang terkandung dalam KUHP, yaitu Pasal 4 KUHP yang diperluas dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1976 tentang Kejahatan Penerbangan, menunjukkan bahwa pengaturan kejahatan yang melintasi batas negara telah diatur sejak lama bahkan meskipun belum disebut terminologi transnasional. Pasal 5 KUHP Indonesia juga mengatur diberlakukannya Undang-Undang Indonesia, bagi warga negara Indonesia yang melakukan kejahatan di luar wilayah Indonesia. Pengaturan tentang kejahatan transnasional sebagaimana dimuat dalam KUHP dilandasi oleh asas- asas berlakunya hukum pidana, dalam hal ini 4 (empat) asas berlakunya hukum

21 AZ Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar Hukum Pidana Indonesia, Yarsif Watampone, Jakarta, 2010, halaman 84.

pidana nasional,22 yaitu asas teritorial (Pasal 2 dan Pasal 3 KUHP), asas nasional aktif (Pasal 5 KUHP), asas nasional pasif (Pasal 4 ke 1, Pasal 2 dan Pasal 4 KUHP) dan asas universal (Pasal 4 ke 2 dan ke 4 KUHP). Namun, prinsip-prinsip berlakunya hukum pidana berdasarkan KUHP juga terbatas pada penerapan ketentuan hukum internasional yang telah diakui oleh pemerintah Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 9 KUHP. Suara ketentuan Pasal 9 KUHP berisi makna yang luas dan luas, dalam arti bahwa praktisi penegak hukum di Indonesia, termasuk anggota parlemen, harus benar- benar memahami kekuatan hukum mengikat dari perjanjian internasional yang diratifikasi oleh Indonesia.23
Demikian juga halnya, yuridiksi dalam hukum pidana Internasional, Lotika Sarker membedakannya dengan pembagian yang klasik,yaitu asas teritorial, asas nasional, dan asas perlindungan dan tidak secara khusus membahas asas universal. Bertolak dari referensi mengenai berlakunya hukum pidana dapat dikatakan bahwa, pembedaan yuridiksi kedalam 4 (empat) lingkup tersebut termasuk pembagian yang bersifat tradisional atau konvensional.24
Selain yuridiksi konvensional tersebut, berdasarkan doktrin maupun yurisprudensi mengenai kejahatan transnasional/internasional, juga terdapat pembedaan yuridiksi kriminal yang dilaksanakan dalam praktek hukum internasional. Cryer Frima, Robinson dan Wilmshurst, telah membedakan 3 (tiga) bentuk yuridiksi kriminal, yaitu: yuridiksi legislatif (legislative juridiction); yuridiksi pengadilan (adjudicative jurisdiction); dan yuridiksi eksekutif (executive jurisdiction).25
Berdasarkan ruang lingkup berlakunya United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime, ada 5 (lima) jenis tindak pidana transnasional yang terorganisasi, yaitu:26
1). Berpartisipasi dalam kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi 2). Tindak pidana yang merupakan pencucian uang

22 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta 1987, halaman 38-53
23 Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Fikahati Aneska, 2009, hal 114.
24 Ibid.
25 Ibid., halaman 116.
26 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime, Pasal 3 Ayat 1.

3). Tindak Pidana Korupsi
4). Tindak Pidana yang merupakan gangguan terhadap proses peradilan
5). Tindak pidana serius (serious crime)

Dalam konteks peraturan perundang-undangan di Indonesia, belum semua jenis tindak pidana diatur dalam United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime dapat dipenuhi, namun secara sporadis pengaturan hal tersebut ada pada beberapa Undang-Undang, antara lain:27
Ad.1) Tindak Pidana atas partisipasi dalam kelompok pelaku tindak pidana terorganisasi:
Ketentuan ini menyiratkan bagaimana seseorang atau beberapa orang melibatkan diri dalam kegiatan dari kelompokterorganisasiyang sudah ada dan diketahuinyaberaktivitas melakukan tindak pidana.
Ketentuan tentang penyertaan maupun permufakatan jahat yang
ada dalam perundang-undangan Indonesia, dapat dikatakan belum memenuhi criteria tindak pidana dalam kelompok pelaku yang terorganisasi, karena:
a. Penyertaan dan permufakatan jahatbukan merupakan tindak pidana;
b. Penyertaan dan permufakatan jahat selama ini digunakan dalam hal keterlibatan orang-perorangan, bukan untuk keterlibatan seseorang dalam hubungannya dengan kelompok terorganisasi.
Pasal 169 KUHP melarang keterlibatan seseorang dalam
perkumpulan yang bertujuan melakukankejahatan. Meski ketentuan tersebut sesungguhnya telah sejalan dan memenuhi unsur semangat Pasal 5 Konvensi, namun ketentuan ini masih bersifat sangat umum dan pada prakteknya Pasal 169 KUHP hampir tidak pernah digunakan lagi.
Undang-Undang Narkotika (Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009) dan Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang telah mengakomodasi sebagian ketentuan Pasal 5 Konvensi dalam memaknai permufakatan jahat, namun ketentuan ini hanya berlaku bagi tindak pidana narkotika, sedangkan bentuk keterlibatan lainnya belum diatur secara khusus.

Ad.2) Tindak pidana yang merupakan pencucian hasil tindak pidana: Tindak pidana ini sudah diatur dalam Undang-Undang, terakhir Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan

27 Abdul Fickar Hadjar, Konsepsi Tindak Pidana Transnasional, Kerjasama Internasional dalam Penegakan Hukumnya, Kompasiana, https://www.kompasiana.com/fickar0957/55283f056ea834e71d8b457f/konsepsi-tindak-
pidana-transnasional-kerjasama-internasional-dalam-penegakan-hukumnya, tanggal 4 April 2013, diakses tanggal 8 Desember 2018.

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, sebagai gantiUndang-Undang Nomor 15 tahun 2002 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2003.
Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 telah merumuskan perbuatan pemindahan kekayaan dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana sebagai tindak pidana pencucian uang. Selain telah merinci tindak pidana asal yang termasuk dalam lingkup tindak pidana pencucian uang, Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 ini juga telah memperluas pengertian tindak pidana asal sebagai tindak pidana yang diancam hukuman 4 tahun atau lebih.
Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian uang ini secara tegas menyatakan menganut asas kriminalitas ganda (double criminality) yaitu perbuatan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia, sepanjang dikualifikasi sebagai tindak pidana menurut hukum di negara yang besangkutan, dan menurut hukum Indonesia juga merupakan tindak pidana maka dianggap termasuk alam katagori tindak pidana asal sebagai dirinci dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010.

Ad.3) Tindak Pidana Korupsi:
Tindak pidana korupsi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor
31 tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Demikian juga Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption.

Ad.4) Tindak Pidana yang merupakan gangguan terhadap proses peradilan:
Ada 2 (dua) bentuk perbuatan yang dipandang sebagai bentuk gangguan proses peradilan, yaitu:
a. Objek gangguannya: Saksi dan Bukti
Setiap perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik ancaman atau intimidasi atau janji,menawarkan atau memberi keuntungan yang tidak semestinya untuk membujuk, memberikan kesaksian palsu atau mencampuri dalam pemberian satu kesaksianatau pembuatan bukti dalam proses beracara.
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentangPerlindungan
Saksi dan Korban secara khusus mengatur perlindungan saksi dan korban, tidak saja mengatur perlindungan secara fisik tapi juga perlindungan dalam bentuk pemberian keterangan kesaksian yang memungkinkan tidak perlu hadir di pengadilan.
b. Objek gangguannya Pejabat Peradilan atau Penegak Hukum

Setiap perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekuatan fisik ancaman atau intimidasi mencampuri pelaksanaan tugas resmi pejabat peradilan atau penegak hukum. Ketentuan ini tidak mengurangi hak negara (dalam perundang-undangan) untuk melindungi pejabat publik dalam katagori lain.

Ad.5) Tindak pidana serius (serious crime):
Dalam Pasal 2 huruf b United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime, Tindak pidana serius berarti tindakan yang berarti suatu tindak pidana yang dapat dihukum dengan maksimum penghilangan kemerdekaan paling kurang empat tahun atau sanksi yang lebih berat.

Dalam konteks penegakan hukum pidana internasional, kerja sama internasional adalah sesuatu yang kondisional. Perlunya kerja sama internasional berkaitan dengan sifat tindak pidana yang terjadi tidak hanya melibatkan dua atau lebih yurisdiksi hukum, tetapi juga memiliki aspek internasional, yaitu ancaman terhadap keamanan dan perdamaian dunia atau kestabilan kemanusiaan. Dengan melibatkan lebih dari satu sistem hukum yang berbeda, itu pasti mengarah pada saling ketergantungan antar negara di dunia, yang kemudian mendorong kerja sama internasional yang dalam banyak hal dinyatakan dalam bentuk perjanjian internasional. Perbedaan filosofi dan pandangan hidup dan lain-lain, tidak lagi menjadi kendala dalam melakukan hubungan dan kerja sama antar negara. Globalisasi dan kemajuan teknologi dengan mengikuti hal-hal negatif telah mendorong perlunya pengaturan yang ketat dan pasti dalam bentuk rumusan perjanjian. Oleh karena itu tidak mengherankan bahwa sekarang dan di masa depan akan ada semakin banyak perjanjian internasional.28
Dewasa ini hukum internasional sebagaian besar terdiri dari perjanjian- perjanjian internasional. Bahkantidak berlebihan jika dikatakan, bahwa perjanjian internasional telah mendesak dan menggeser kedudukan dan peranan hukum kebiasaan internasional yang pada awal sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum internasional menduduki tempat yang utama. Tepatlah apa yang dikatakan G.I. Tunkin, bahwa secara proporsional perjanjian internasional pada masa kini menduduki tempat yang utama dalam hukum

28 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kompendium Hukum Kerjasama Internasional di Bidang Penegakan Hukum, Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2013, halaman 149.

internasional sebagai akibat dari munculnya secara meluas persetujuan- persetujuan internasional.29
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengamanatkan, bahwa dalam membuat perjanjian internasional baik dengan satu negara maupun dengan organisasi internasional atau subjek hukum internasional lainnya, wajib memperhatikan dan memenuhi:30
(1) Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional
dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik.
(2) Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku.

Ketentuan ini mengamanatkan bahwa meski perjanjian international sebagai wujud kerja sama internasional utamanya di bidang penegakan hukum sebagai keniscayaan, namun dalam setiap proses pembuatannya tetap harus berangkat dari kepentingan nasional dan memperhatikan prinsip-prinsip kesamaan kedudukan, saling menguntungkan dan prinsip-prinsip yang dianut oleh hukum nasional maupun internasional. Demikian juga Kitab Undang- Undang Hukum Pidana melalui Pasal 9, bahwa dalam konteks tindak pidana transnasional selain mengatur “kedaulatan yuridiksi hukum nasional” juga telah menempatkan perjanjian internasional sebagai pengecualiannya. Artinya dalam hal perjanjian internasional mengatur yuridiksi yang lain selain yang telah diatur oleh KUHP (Pasal 2 s.d. Pasal 8), maka perjanjian internasional itulah yang akan digunakan. Ketentuan ini juga menyiratkan bahwa terhadap penegakan hukum tindak pidana transnasional hukum Indonesia terbuka lebar untuk bekerja sama dalam penegakannya.31
Mengenai kerjasama internasional dalam penegakan hukum pidana internasional pada umumnya, beberapa institusi hukum yang disebutkan dalam

29 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional, Mandar Maju, Bandung 2002, halaman 3.
30 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Pasal 4.
31 Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2013. Op.Cit., halaman 156.

United Nations Convention Against Transnational Organized Crime seperti: ekstradisi (Pasal 16), pemindahan narapidana (Pasal 17), bantuan timbal balik dalam masalah Pidana (Pasal 18), penyelidikan bersama (Pasal 19), kerjasama dalam melakukan tehnik-tehnik penyelidikan khusus(Pasal 20), pemindahan proses pidana (Pasal 21) sebenarnya sudah termasuk dalam pengertian ruang lingkup kerjasama penegakan hukum. Pasal 27 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime tentang kerjasama penegakan hukum, secara lebih khusus menekankan kerjasama penegakan hukum dalam pelbagai aspek yang lebih bersifat teknis operasional sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 Ayat 1 huruf a sampai dengan f. Hal ini sudah dilakukan oleh Indonesia. Setiap kerjasama antara instansi penegak hukum tersebut sudah dilandasi oleh suatu perjanjian internasional, jika belum, atau jika sudah perjanjian tersebut diubah untuk disesuaikan, Pasal 27 Ayat 2 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime menekankan kepada negara-negara pihak untuk membuat perjanjian internasional.32
Berikut penjelasan beberapa institusi hukum yang disebutkan dalam
United Nations Convention Against Transnational Organized Crime:33

  1. Ekstradisi
    Beberapa asas ekstradisi dimuat dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, yaitu asas kejahatan ganda (double criminality-Pasal 16 Ayat 1), asas tidak menyerahkan warga negara (non extradition of nations-Pasal 16 Ayat 10), asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (non extradition of political criminal-Pasal 16 Ayat 14).
    Selain United Nations Convention Against Transnational Organized
    Crime, ekstradisi juga diatur dalam United Nation Model Treaty on Extradition (1990) yang telah banyak dikuti oleh negara-negara lain lhususnya dalam membuat perjanjian-perjanjian maupun dalam perundang-undangan ekstradisi.
    Bagi Indonesia, pelaksanaan ekstradisi didasarkan pada perjanjian
    bilateral sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi atau dimungkinkan pulaatas dasar asas resiprositas yang dianut hukum internasional. Namun bagaimanapun Undang-Undang Nomor 1 tahun 1979 ini harus disesuaikan, karena tidak/belum memuat ketentuan-ketentuanyang mewajibkan mempercepat prosedur ekstradisi dan menyederhanakan persyaratan pembuktian (Pasal 8), tidak memuat ketentuan tidak menyerahkan warga negara (Pasal 10) dan tidak memuat ketentuan

32 Abdul Fickar Hadjar, Op.Cit.
33 Ibid.

berlakunya hukuman terhadap warga negara, negara yang diminta (Pasal 12).

  1. Pemindahan Narapidana
    tentang pemindahan narapidana United Nations Convention Against Transnational Organized Crime hanya menghimbau untuk membuat perjanjian bilateral atau multilateral ataupun peraturan perundang- undangan didalam negara pihak.Sebuah perjanjian internasional yang dapat dijadikan rujukan adalah: Convention on the transfer of Sentenced Persons (1983) antara negara-negara Dewan Eropa (Council of Europe) dan Schengen Convention (Title III Chapter V) (1990) yang merupakan pelengkap dari Konvensi tahun 1983.
    Perjanjian internasional tentang pemindahan narapidanaini dibuat dengan pertimbangan kemanusiaan, yakni memberikan kesempatan kepada narapidana (asing) yang menjalani hukuman dinegara lain untuk menjalani pidana atau sisa hukumannya di negara sendiri. Namun narapidana (asing) itu juga harus dihormati pilihannya untuk melaksanakan hukuman dinegara lain atau di negaranya sendiri.
    Di Indonesia mengenai pemindahan diatur dalam Undang-Undang seperti KUHAP, Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan atau Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbalbalik dalam Masalah Pidana.Meski tidak satu Pasalpun secara eksplisit mengatur pemindahan narapidana, namun semua Undang-Undang itu pun tidak melarang untukmelakukan perjanjian kerjasama pemindahan narapidana seperti yang dihimbau United Nations Convention Against Transnational Organized Crime.
  2. Bantuan Timbal Balik dalam masalah Pidana
    Dalam hal bantuan timbal balik dalam masalah Pidana dalam masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters) dalam konteks negara-negara ASEAN (Brunei Darussalam, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Pilipina,Singapore dan Vietnam) telah ditanda tangani sebuah perjanjian: “Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters” di Kuala Lumpur pada tanggal 20 Nopember 2004. Mianmar telah menjadi pihak dalam ASEAN Treaty on Mutual Legal Assistance itu pada bulan Desember 2009.
    Di dalam negeri Indonesia telah mempunyai Undang-Undang tersendiri, yaitu Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan timbal balik dalam masalah Pidana Dalam Masalah Pidana. Jika dibandingkan antarketentuan tentang bantuan timbal balik dalam masalah Pidana dalam masalah pidana United Nations Convention Against Transnational Organized Crime dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 memang ada ketentuan yang sama dan ada pula kekosongan di pihak yang satu ataupun lainnya.
  3. Penyelidikan Bersama
    Pasal 19 United Nations Convention Against Transnational Organized Crime mengamanatkan kewajiban kepada negara-negara pihak untuk mempertimbangkan perjanjian billateral atau multilateral

ataupun engaturan tentang subjek dari penyelidikan, penuntutan atau proses peradilan di satu atau lebih negara. Pilihan membuat atau tidak membuat perjanjian sepenuhnya menjadi hak dari negara pihak, yang jikapun ada suatu kasus, para pihak masih dapat melakukan kerjasama kasus perkasus.
Hukum Indonesia seperti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian, Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan ataupun Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak mengatur secara tegas tentang kemungkinan untuk melakukanpenyelidikanbersama sebagaimana diamanatkan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime. Akan tetapi ketiga Undang-Undang itupun tidak melarang. Dengan kata lain memberikan kemungkinan untuk melakukan erjasama internasional tersebut.

  1. Kerjasama melakukan Teknik-teknik Penyelidikan Khusus, Mengenai teknik penyelidikan khusus sebagaimana diamanatkan United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, dalam peraturan perundang-undangan Indonesia terutama dalam Undang-Undang diluar KUHP sudah banyak yang mengaturnya, seperti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Jadi tentang teknik penyelidikan khusus ini sudah dapat dijadikan dasar untuk membuat perjanjian-perjanjian internasional dalam penegakan hukum pidana transnasional.
  2. Pemindahan Proses Pidana
    Pemindahan proses pidana ini merupakan pemindahan orang yang diduga, disangka ataupun didakwa melakukan tindak pidana yang diatur dalam United Nations Convention Against Transnational Organized Crime ke negara pihak yang dipandang sebagai negara yang paling tepat dan efektif dalam melaksanakan penuntutan dan peradilannya. Tentu saja pemindahan ini sekaligus dengan barang- barang buktinya khususnya benda bergerak. Dengan demikian, proses penuntutan dan peradilannya dipusatkan pada negara pihak yang bersangkutan.
    Hukum Indonesia dalam hal ini KUHAP ataupun perundang-
    undangan lainnya tidak mengatur masalah pemindahan proses pidana ini, Nmun Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme secara eksplisit memungkinkan untuk dilakukan pemindahan proses pidana ini.

Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia sebagaimana disebutkan sebelumnya, telah menjadi negara peserta dalam beberapa konvensi internasional yang mengatur kejahatan transnasional diantaranya:34

  1. United Nation Convention against Illicit Traffic in Narcotic, Drugs and Psychotropic Substances yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1997;
  2. United Nation Convention against Corruption (UNCAC) yang
    diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor tahun 2006; dan
  3. United Nation Convention against Transnational Organized Crime
    yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2009.

Menurut Siswanto Sunarso, Mutual Legal Assistance, yakni suatu perjanjian yang bertumpu pada permintaan bantuan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di depan sidang pengadilan, dan lain-lain, dari Negara Diminta dengan Negara Peminta.35 Mutual Legal Assistance (MLA) atau perjanjian saling bantuan hukum adalah perjanjian antara dua negara asing untuk tujuan informasi dan bertukar informasi dalam upaya menegakkan hukum pidana.36 Bantuan ini dapat berlangsung berupa memeriksa dan mengidentifikasi orang, tempat dan sesuatu, transfer kustodi, dan memberikan bantuan dengan immobilization dari alat-alat kegiatan kriminal. Bantuan mungkin ditolak oleh salah satu negara (sesuai dengan perjanjian rincian) untuk politik atau alasan keamanan, atau jika pelanggaran pidana dalam pertanyaan tidak dihukum sama di kedua negara. Beberapa perjanjian dapat mendorong bantuan dengan bantuan hukum bagi warga negara di negara-negara lain.37
Objek Mutual Legal Assistance antara lain, pengambilan dan pemberian
barang bukti. Ini termasuk pernyataan, dokumen, catatan, identifikasi lokasi keberadaan seseorang, pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan, pencarian, pembekuan, dan penyitaan aset hasil kejahatan, mengusahakan persetujuan orang yang bersedia memberikan kesaksian atau

34 Marcella Elwina Simandjuntak, Mutual Legal Assistance: Kerjasama Internasional Pemberantasan Korupsi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro: Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 42 Nomor 1 Januari 2013, Semarang, halaman 132.
35 Siswanto Sunarso, Ekstradisi dan Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana:
Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2009, halaman 133.
36 Mekar Paian Sinurat, Perbandingan Ekstradisi dan MLA, http://mekar- sinurat.blogspot.com/2009/10/perbandingan-ekstradisi-dan-mla.html, tanggal 1 Oktober 2009, diakses tanggal 8 Desember 2018.
37 Ibid.

membantu penyidikan di negara peminta bantuan Mutual Legal Assistance.38 Menurut Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, yang dimaksud Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana merupakan permintaan bantuan berkenaan dengan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Negara diminta.39
Ungkapan timbal balik menunjukkan bahwa bantuan hukum diberikan dengan harapan bahwa akan ada bantuan timbal balik dalam kondisi tertentu, meskipun tidak selalu timbal balik menjadi prasyarat untuk pemberian bantuan. Sedangkan bentuk-bentuk dari Mutual Legal Assistance menurut Pasal 3 Ayat
(2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana:40
a. mengidentifikasi dan mencari orang;
b. mendapatkan pernyataan atau bentuk lainnya;
c. menunjukkan dokumen atau bentuk lainnya;
d. mengupayakan kehadiran orang untuk memberikan keterangan atau membantu penyidikan;
e. menyampaikan surat;
f. melaksanakan permintaan penggeledahan dan penyitaan;
g. perampasan hasil tindak pidana;
h. memperoleh kembali sanksi denda berupa uang sehubungan dengan tindak pidana;
i. melarang transaksi kekayaan, membekukan aset yang dapat dilepaskan atau disita, atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana;
j. mencari kekayaan yang dapat dilepaskan atau yang mungkin diperlukan untuk memenuhi sanksi denda yang dikenakan, sehubungan dengan tindak pidana dan/atau;
k. bantuan lain sesuai dengan Undang-Undang ini.

Hal-hal tersebut di atas erat kaitannya dengan sistem pembuktian. Sistem pembuktian di dalam KUHAP adalah system negatief wettelijk untuk dapat dijadikan alat bukti pada tahap penyidikan, penuntutan, dan proses di sidang pengadilan, jika dalam tahap tersebut belum ditemukan 2 (dua) alat bukti

38 Ibid.
39 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 18, Pasal 3 Ayat (1).
40 Ibid, Pasal 3 Ayat (2).

yang sah menurut Undang-Undang maka pelaku tidak dapat di hukum walaupun hakim berkeyakinan bahwa pelaku bersalah atau sebaliknya jika hakim yakin terdakwa bersalah tetapi 2 (dua) alat bukti tidak dipenuhi.
Untuk mengambil bukti-bukti berupa aset yang berada di negara asing maka diperlukan kerjasama, tidak hanya dengan negara asing melalui bantuan timbal balik dalam masalah Pidana, melainkan juga di dalam negeri sendiri instansi terkait harus berkoordinasi dan bekerjasama. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, kerjasama dan koordinasi di dalam negeri dilakukan oleh sebuah central authority sebagai wadah untuk meminta bantuan kepada negara asing atau sebaliknya. Sebagaimana dalam penjelasan umum, Undang- Undang ini juga memberikan dasar hukum bagi Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia sebagai pejabat pemegang otoritas (central authority) yang berperan sebagai koordinator dalam pengajuan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana kepada negara asing maupun penanganan permintaan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dari negara asing. 41
Tugas central authority untuk mendapatkan alat bukti dari negara asing maka diperlukan kerjasama di dalam negeri yang meliputi Departemen Luar Negeri (diplomatic channel), Kejaksaan Agung RI, Kepolisian RI, Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Kementerian Hukum dan HAM (central authority) untuk mengetahui asset-asset yang dapat di sita, di geledah, diblokir oleh instansi-instansi yang berwenang di negara asing.42
Pelaksanaan Bantuan timbal balik dalam masalah Pidana didasarkan pada kondisi faktual bahwa sebagai akibat dari perbedaan dalam sistem hukum pidana antara beberapa negara mengakibatkan terjadinya keterlambatan dalam penyelidikan pidana. Seringkali setiap negara menginginkan penggunaan absolut dari sistem hukumnya sendiri dalam menangani kejahatan, hal yang

41 Ibid, Penjelasan Umum.
42 Integrated Law Enforcement Approach, https://www.cifor.org/ilea/_ref/ina/instruments/Law_Enforcement/MLA/index.htm., diakses tanggal 8 Desember 2018.

sama terjadi di negara lain, sehingga penanganan kejahatan menjadi lambat dan berbelit-belit.43
Hal ini lebih disebabkan oleh adanya perbedaan sistem hukum pidana di antara negara anggota ASEAN. Ada negara yang menganut sistem continental dan ada pula yang menganut sistem anglo saxon. Perbedaan besar terutama terdapat dalam sistem peradilan pidana yaitu ada yang menganut due process model yang lebih menitik beratkan pada perlindungan Hak Asasi Manusia bagi tersangka, sehingga menimbulkan birokrasi yang cukup panjang dalam peradilan pidana dan ada Negara yang menerapkan crime control model, yang menekankan efisiensi dan efektivitas peradilan pidana dengan berlandaskan asas praduga tak bersalah.44
Pentingnya diterapkan Mutual Legal Assistance dalam penanganan kejahatan yang sifatnya double criminality tidak terlepas dari kenyataan bahwa pengaruh dari kejahatan ini dirasakan oleh lebih dari satu negara. Oleh karena itu, penanganan kejahatan transnasional terorganisasi yang sifatnya sepihak (hanya oleh satu negara) hanya akan menimbulkan masalah lain yaitu dilanggarnya kedaulatan suatu negara. Maksud dari asas kejahatan ganda (double criminality) adalah kejahatan yang dijadikan sebagai dasar untuk meminta penyerahan (ekstradisi) adalah merupakan kejahatan atau peristiwa pidana menurut sistem hukum kedua pihak (negara yang meminta dan negara yang diminta).45
Untuk memperjelas mengenai asas double criminality, Kitab Undang- Undang Hukum Pidana telah mengaturnya dalam Pasal 5 Ayat (1) Butir 2 yang menyatakan bahwa ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut perundang- undangan negara di mana perbuatan dilakukan diancam pidana.46

43 Elisatris Gultom, Op.Cit.
44 Azhari Setiawan, ASEAN ‘Political-Security’ Community: Kerjasama Multilateral & Mutual Legal Assistance Dalam Menangani Kasus Money Laundering Di Asia Tenggara, Anti- Corruption Clearing House; https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/asean-community- mekanisme-kerjasama-multilateral-dan-mla-dalam-menangani-kasus-money-laundering-di- asia-tenggara, tanggal 14 September 2016, diakses tanggal 8 Desember 2018.
45 I Wayan Parthiana, Op.Cit, halaman 29.
46 Republik Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 5 Ayat (1) Butir 2.

Bantuan timbal balik dalam masalah Pidana relatif efektif untuk diterapkan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional terorganisasi, dibandingkan dengan ekstradisi. Kelemahan ekstradisi dikemukakan oleh Watanabe, sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, antara lain:47

  1. perbedaan hukum nasional baik hukum substantif maupun hukum ajektif (acara);
  2. mekanisme pelaksanaannya, dan;
  3. struktur organisasi pemerintahan dari negara yang terlibat dalam perjanjian tersebut.

Tidak setiap negara memiliki perjanjian ekstradisi dalam memerangi kejahatan tertentu. Tidak adanya perjanjian ekstradisi ini tentunya akan mempersulit suatu negara untuk mengadili para penjahat yang tinggal di negara lain. Kemungkinan tidak dibentuknya perjanjian ekstradisi di antara negara- negara dapat pula dilihat dalam Article 16 Section 4 United Nations Convention against Transnational Organized Crime. Sekalipun demikian konvensi memberikan jalan keluar yaitu jika perjanjian ekstradisi tidak dibentuk, maka United Nations Convention against Transnational Organized Crime dapat dianggap sebagai dasar pengekstradisian sepanjang menyangkut kejahatan yang diatur dalam konvensi.48 Bantuan timbal balik dalam masalah Pidana memiliki cakupan yang sangat luas (sebagaimana dimuat dalam Article 18 United Nations Convention against Transnational Organized Crime) mulai dari proses mencari bukti atau pernyataan yang berkaitan dengan kejahatan sampai dengan pelaksanaan putusan, sehingga ini akan memudahkan pengungkapan berbagai bentuk kejahatan.
Dasar pelaksanaan kerja sama ekstradisi dan Mutual Legal Assistance didasarkan pada 3 (tiga) hal yang saling terkait satu sama lain, yaitu pertama ketentuan hukum acara pidana; kedua, perjanjian antarnegara yang dibuat; dan ketiga, konvensi dan kebiasaan internasional. Kerjasama ekstradisi dan Mutual Legal Assistance dapat dilakukan berdasarkan suatu perjanjian dan jika belum

47 Romli Atmasasmita, Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, halaman 71.
48 United Nations Convention Against Corruption 2003, Article 16 Section 4. (sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006)

ada perjanjian, maka bantuan dapat dilaksanakan atas dasar hubungan baik antara kedua negara. Dalam mekanisme ekstradisi dan Mutual Legal Assistance, suatu negara akan menunjuk suatu lembaga yang atas nama pemerintah negara yang bersangkutan, berwenang menerima atau mengajukan permintaan resmi ekstradisi dan Mutual Legal Assistance dan bertanggung jawab atas proses ekstradisi dan Mutual Legal Assistance.49
Dalam pelaksanaan Mutual Legal Assistance, Menteri Hukum dan HAM RI sebagai otoritas pusat (central authority) dapat meminta pejabat yang berwenang untuk melakukan tindakan, misalnya kepada pihak Kejaksaan RI. Hal ini berupa penggeledahan, pemblokiran, penyitaan, pemeriksaan surat, dan pengambilan keterangan. Sebaliknya, Menteri Hukum dan HAM dapat menolak permintaan kerja sama Mutual Legal Assistance dari negara lain dalam hal tindakan yang diajukan itu dapat mengganggu kepentingan nasional atau berkaitan dengan kasus politik atau penuntutan yang berkaitan dengan suku, agama, ras, kebangsaan, atau sikap politik seseorang. Komunikasi dalam kerja sama Mutual Legal Assistance dapat dilakukan, baik melalui jalur diplomatik maupun melalui jalur central authority. Ada juga negara yang melakukan kerja sama Mutual Legal Assistance hanya melalui jalur diplomatik, seperti Malaysia.50
Salah satu aspek dari Mutual Legal Assistance adalah sharing forfeited asset. Aset yang disita sebagian dibagikan kepada negara yang membantu penyelesaian kasus tersebut, baik untuk biaya operasional atau lainnya. Hal ini merupakan suatu masalah baru. Indonesia memiliki ketentuan untuk mengenai hal ini dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006, namun beberapa negara, seperti Thailand, tidak. Pada Amerika Serikat, masalah ini sudah berjalan sejak lama (1989). Sebagai contoh, pada tahun itu ada dana sebesar USD 188 juta dan dibagikan kepada negara lain yang membantu Amerika dalam Mutual Legal Assistance. Besarnya bagian ini tergantung dari peranan negara tersebut. Kalau negara yang membantu mempunyai peranan yang esensial maka dapal memperoleh 50-80% dari aset yang dirampas. Misalnya,

49 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Central Authority dan Mekanisme Koordinasi Dalam Pelaksanaan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, Kementerian Hukum dan HAM RI, Jakarta, 2012, halaman 27.
50 Ibid.

negara tersebut mengembalikan aset yang disita dan membela di pengadilan. Kalau bantuan bersifat substansial seperti melaksanakan permintaan Amerika, dan membekukan aset, maka negara tersebut dapat bagian sebesar 40-50%. Sementara jika peranan negara asing tersebut hanya ”facilitating assistance”‘ misalnya memberikan informasi, menyediakan dokumen bank akan memperoleh bagian sampai 40%. Indonesia perlu mengundangkan dan membuat peraturan pelaksanaan soal ketentuan Pasal 57 mengenai masalah sharing forfeited asset ini. Ini menjadi membuka peluang keberhasilan mengejar barang bukti dan hasil tindak pidana yang berada di luar negeri menjadi semakin besar. Nilai besaran jatah negara yang membantu ini dapat dirundingkan oleh Menteri Hukum dan HAM sudah tentu dengan mempertimbangkan peranan negara tersebut. Namun demikian, meskipun peran Bantuan timbal balik dalam masalah Pidana dalam pencegahan dan pemberantasan kejahatan transnasional terorganisir cukup penting, dan kejahatan transnasional terorganisir telah mengalami peningkatan, baik dari segi kualitas dan kuantitas, ternyata pemerintah Indonesia belum banyak melakukan permintaan Bantuan timbal balik dalam masalah Pidana dengan negara lain.51
Walaupun negara-negara yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi masih terbuka untuk kemungkinan menangani proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dalam proses pengadilan dengan mengadakan perjanjian bantuan timbal balik tentang masalah pidana, tidak semua negara dapat menerapkan perjanjian tentang bantuan timbal balik di masalah pidana untuk menangani kejahatan transnasional, karena dalam pelaksanaanya sering menemui kendala, terutama yang menyangkut administrasi penyelidikan- penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.52
Perbedaan antara kejahatan internasional dan kejahatan transnasional
terletak pada unsur kejahatan internasional yang tidak dimiliki oleh kejahatan transnasional. Unsur-unsur kejahatan internasional, diantaranya sifat yang mengancam baik secara langsung maupun tidak langsung perdamaian dan keamanan dunia atau mengusik rasa kemanusiaan. Tindak pidana

51 Ibid.
52 Siswanto Sunarso, Op. Cit., halaman 228.

internasional, tidak harus disebut sebagai kejahatan transnasional. Di sisi lain, kejahatan transnasional tidak dapat selalu disebut sebagai kejahatan internasional. Dalam keadaan tertentu, perbuatan kriminal internasional ditandai oleh kejahatan transnasional jika locus delict terjadi di dua atau lebih negara. Demikian juga, kejahatan transnasional adalah kejahatan internasional karena mereka dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional baik oleh konvensi maupun oleh hukum kebiasaan internasional. Kejahatan transnasional adalah kejahatan yang terjadi secara lintas negara dan tidak mengandung unsur kejahatan internasional.
Kejahatan transnasional adalah salah satu bentuk kejahatan yang mengancam sosial, ekonomi, politik, keamanan dan perdamaian dunia. Perkembangan kejahatan transnasional tidak lepas dari perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain mampu memfasilitasi lalu lintas manusia dari satu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain, ilmu pengetahuan dan teknologi juga memiliki dampak negatif dalam bentuk kejahatan yang tumbuh, meningkat, beragam dan merajalela. Pada saat ini kejahatan transnasional telah berkembang menjadi kejahatan terorganisir yang dapat dilihat dari ruang lingkup, karakter, modus operandi, dan pelakunya.53
Terkait pelaksanaan Kerjasama Internasional dan Mutual Legal Assistance dilingkungan Kejaksaan RI dilakukan oleh Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri, dibawah kewenangan Jaksa Agung Bidang Pembinaan berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 38 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia dan Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-006/A/JA/2017 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia.
Sebagai dasar untuk kerja sama internasional, Kejaksaan Republik Indonesia telah menjalin hubungan antar institusi, antara lain:54

53 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2009 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Transnasional Organized Crime (Konvensi PBB Menentang Tindak Pidana Transnational yang Terorganisasi), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5, Penjelasan Umum.
54 Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri, Himpunan Perjanjian Ekstradisi, Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Pemerintah RI dengan Negara-negara Sahabat, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, tanpa halaman.

1). Perjanjian antara Kejaksaan dan Kejaksaan Malaysia dalam kerjasama hukum (agreement between the Attorney General’s Office of the Republik of Indonesia and the Attorney General’s Chambers of Malaysia on Legal Cooperation Activities) pada tanggal 2 April 2012.
2). Nota Kesepahaman dalam bidang kerjasama antara Kejaksaan RI dan Kejaksaan Korea (MOU between the Attorney General’s Office of the Republic of Indonesia and the Attorney General’s Office of the Republik of Korea on Cooperation Activities) pada tanggal 1 Juli 2011.
3). Nota Kesepahaman dalam bidang kerjasama antara Kejaksaan RI dan Kejaksaan Republik Agung Federasi Rusia (MOU between the Attorney General’s Office of the Republic of Indonesia and the Office of the Prosecutor General of the Russian Federation on Cooperation Activities) di Moskow, pada tanggal 1 Desember 2006
4). Komunikasi Bersama (Joint Communique) antara Pemerintah RI dengan The United Nations Transnasional Administration in East Timor (UNTAET) di Dili pada tanggal 29 Februari 2000;
5). Komunikasi bersama (Joint Communique) for Cooperation in Legal Field between the Attorney General of Indonesia and Head of the Supreme Precuratorate of the socialist Republik of Vietnam di Jakarta pada tanggal 23 Juli 1996;
6). Surat Perjanjian Pelaksanaan Program Regional di Peradilan Pidana
dengan UNODC (Letter of Agreement Between the Relevant Authority of the Republik of Indonesia and the UNODC on the Implementation of the regional Programme on Criminal justice “Towards Asian Just”), ditandatangani oleh Kepala Biro Hukum Kejaksaan Agung dengan perwakilan Regional Centre for East Asia and Pacific pada tanggal 12 Oktober 2010;
7). Rencana Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Papua New Guinea melalui kementrian hukum masing-masing telah sepakat untuk melakukan kerjasama di bidang ekstradisi. Salah satu yang menjadi incaran Pemerintah Indonesia yakni terpidana kasus pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra. Konglomerat tersebut telah mengganti status menjadi warga negara Papua New Guinea setelah kabur dari Indonesia pada tahun 2009. Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) mengatakan bahwa perjanjian ekstradisi akan memudahkan proses pemulangan tersangka atau terpidana dari Papua New Guinea ke Indonesia. Setelah diratifikasi maka perjanjian itu sah digunakan untuk melakukan ekstradisi. Menurut Jaksa Agung, nota kesepahaman terkait perjanjian ekstradisi dengan Papua New Guinea, akan memudahkan upaya pemulangan terpidana seperti Djoko Chandra, pihaknya akan menyiapkan tim khusus untuk memulangkan Djoko Chandra. Selama ini upaya pemulangan Djoko Chandra terkendala karena Indonesia tidak memiliki perjanjian eksradisi dengan Papua New Guinea. Djoko Chandra telah dijatuhi vonis bersalah oleh Mahkamah Agung pada tahun 2009. Bos Grup Mulia itu dijatuhi hukuman dua tahun penjara serta denda Rp. 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

Ia jua diwajibkan menyerahkan uang penganti senilai Rp. 546 miliar untuk menutupi kerugian keuangan negara.
8). Nota Kesepahaman dalam bidang kerjasama pelatihan dan
pertukaran informasi ihwal penanganan perkara antara Kejaksaan RI dan Kejaksaan Singapura, di Bali pada tanggal 29 Agustus 2017. Dalam nota kesepahaman itu belum ada perjanjian ekstradisi yang formal. Tetapi ada solusi lain melalui mutual legal assistance. Ekstradisi menjadi porsi Negara. Selanjutnya dalam waktu dekat Indonesia akan membuat atase kejaksaan di Singapura. Atase Kejaksaan Republik Indonesia sendiri saat ini sudah ada di sejumlah negara, di antaranya Arab Saudi (Riyadh), Hongkong dan Thailand. Setiap atase kejaksaan di negara masing-masing mengurusi permasalahan hukum yang berbeda-beda.
9). Nota Kesepahaman Kerja Sama antara Kejaksaan Agung Republik Indonesia dengan Kejaksaan Agung Federasi Rusia pada 3 Oktober 2018 di Moskow. Jaksa Agung RI juga mengusulkan sejumlah program kerja sama, antara lain pertukaran Jaksa kedua negara, dan dialog kerja sama, seperti pemberantasan narkotika dan ancaman ekstremisme, serta ISIS. Jaksa Agung Rusia mengatakan untuk melawan kejahatan transnasional diperlukan mitra yang dapat diandalkan. Selain itu, untuk melawan terorisme, korupsi, kejahatan teknologi tinggi, perdagangan obat- obatan terlarang dan ancaman modern lainnya, tidak hanya mengkonsolidasikan upaya-upaya, tetapi juga perlu mengadopsi praktek-praktek terbaik satu sama lainnya.

Kedudukan dan fungsi Kejaksaan dalam pelaksanaan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana/Mutual Legal Assistance antara lain:55
1). Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, dimana Kejaksaan merupakan lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang.
2). Kewenangan penuntutan dan kewenangan lain berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik. Kejaksaan dalam proses Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana baik dalam hal permintaan bantuan Indonesia ke negara asing, maupun proses permintaan negara lain kepada Pemerintah Indonesia, yaitu:56
a) Tahapan Proses Permintaan Bantuan Indonesia ke Negara Lain:

  1. Jaksa Agung dapat mengajukan permohonan bantuan melalui Menteri (Pasal 9 Ayat 2)

55 Ibid.
56 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 Tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 18; dan Biro Hukum Dan Hubungan Luar Negeri, Peran Kejaksaan Dalam Proses MLA, disampaikan dalam rapat Koordinasi Perencanaan dan Pengangaran Otoritas Pusat dalam rangka Bantuan Timbal Balik di Bappenas, tanggal 27 Mei 2003, Kejaksaan Agung Republik Indonesia.

  1. Memberikan informasi kepada Menteri dalam permohonan bantuan mencari atau mengidentifikasikan orang yang diduga ada hubungan dengan suatu perkara yang sedang dalam Dik, Tut atau Sidang yang dapat memberikan pernyataan atau bantuan lain terkait Dik, Tut atau sidang (Pasal 11)
  2. Memberikan informasi terkait alat bukti yang diperlukan dalam rangka suatu Dik, Tut atau Sidang: mengambil pernyataan di negara Asing atau menerima penyerahan Dokumen atau alat bukti lain yang berada di negara asing (Pasal 12)
  3. Melakukan pemeriksaan silang melalui pertemuan langsung atau dengan bantuan teleconference atau tayangan langsung melalui sarana komunikasi atau sarana elektronik lainnya, baik dalam tahap Dik, Tut atau Sidang dengan:
    a. Penyidik, PU atau Hakim; atau
    b. tersangka, terdakwa atau kuasa hukumnya (Pasal 13)
  4. Menghadirkan orang di Indonesia untuk memberikan keterangan, dokumen, alat bukti lainnya, atau memberikan bantuan lain dalam Dik, Tut dan Sidang pengadilan, serta menempatkan orang tersebut dalam tahanan sementara selama berada di Indonesia (Pasal 15)
  5. Memberikan informasi terkait bukti permulaan yang cukup untuk pengajuan permintaan bantuan kepada negara asing untuk mengeluarkan surat perintah blokir, geledah, sita atau lainnya yang diperlukan sesuai Undang-Undang yang terkait dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di Indonesia (Pasal 19-Pasal 20)
  6. Memberikan informasi tentang Surat yang diperlukan dalam hal permohonan bantuan penyampaian surat (Pasal 21) Jaksa Agung dapat mengajukan permohonan bantuan menindak lanjuti putusan pengadilan melalui Menteri i.e: Putusan sita eksekutorial, pidana denda atau bayar uang pengganti (Pasal 22).

b) Tahapan Proses Permintaan Bantruan Negara Lain kepada Pemerintah Indonesia:

  1. Jaksa Agung menindaklanjuti permintaan bantuan dari
    negara peminta yang telah dinyatakan memenuhi persyaratan oleh Menteri, lalu menyerahkan hasil dari pelaksanaan permintaan bantuan kepada Menteri (Pasal 32 Ayat 3 dan 4)
  2. Bila permintaan bantuan disetujui dan negara peminta salinan dokumen dilegalisasi, maka Menteri meminta pejabat berwenang melegalisasi dan menyerahkan kembali kepada Menteri (Pasal 32 Ayat 5)
  3. Memberikan pertimbangan hukum dalam hal permintaan
    bantuan dari Negara peminta adalah untuk tujuan

pengeledahan dan sita barang, benda atau harta kekayaan dan menindaklanjutinya dengan mengajukan permohonan Surat izin Pengeledahan dan penyitaan kepada Ketua PN setempat (Pasal 41)

  1. Melaksanakan sita atau geledah berdasarkan surat izin pengadilan (Pasal 44)
  2. Menyerahkan barang atau benda sitaan kepada Rupbasan (Pasal 45)
  3. Menyampaikan perkembangan hasil penyitaan kepada menteri untuk diteruskan kepada negara peminta (Pasal 46)
  4. Melaksanakan permintaan bantuan menindaklanjuti putusan pengadilan negara peminta yang telah disetujui oleh Menteri dengan mengajukan kepada PN setempat permohonan izin sita eksekutorial dan atau rampas, dan melaksanakan sita eksekutorial setelah dikeluarkan Tap sita dan /atau rampas (Pasal 51-52)

Kejaksaan Republik Indonesia memiliki peran dalam setiap tahap Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana/Mutual Legal Assistance, dimana Jaksa bertindak sebagai penyidik, penuntut umum, dan eksekutor putusan pengadilan. Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga yang memiliki wewenang untuk melaksanakan eksekusi putusan pengadilan. Proses yang dilakukan oleh kejaksaan adalah pemrosesan perkara, peran pro-justitia dan hanya dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga yang merupakan bagian dari sistem peradilan pidana terintegrasi. Sebagaimana informasi yang penulis peroleh dari Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan Agung RI, kejaksaan banyak menerima permintaan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana/Mutual Legal Assistance dari berbagai Negara.
Dalam pelaksanaan ekstradisi, Kejaksaan RI berperan aktif sampai dengan pelaksanaannya, antara lain:57

  1. Kasus ekstradisi an. Charles Alfret Barneet, WN Australia, selaku eksekutor putusan pengadilan telah menyerahkan termohon kepada pemerintah Indonesia untuk selanjutnya diserahkan kepada Prmerintah Australia pada tanggal 13 Februari 2009 di bandara Internasional Soekarno-Hatta.
  2. Kasus ekstradisi an. Hadi Ahmadi, WN Iran, selaku eksekutor putusan pengadilan telah menyerahkan termohon kepada pemerintah Indonesia untuk selanjutnya diserahkan kepada

57 Reda Manthovani, Central Authority Dalam Kerjasama Internasional Di Bidang Hukum Pidana, disampaikan dalam Forum Group Discussion mengenai Mutual Legal Assistance di Bappenas, tanggal 3 Juni 2013.

Pemerintah Australia pada tanggal 26 Mei 2009 di Bandara Internasional Soekarno-Hatta

  1. Kasus ekstradisi buronan Rafat Ali Rizki, Kejaksaan Agung akan
    berupaya untuk mengekstardisi tersangka perkara bank Century Rafat Ali Rizki. Sebelumnya Pengadilan Arbitrase Internasional (International Centre for Settlement of Investment Disputes / ICSID) di Washington DC, Amerika Serikat memenangkan pemerintah Indonesia dalam perkara kucuran dana talangan bank Century yang diajukan pemegang sahamnya, Rafat Ali Rizvi. Dalam putusan ICSID sepakat dengan pemerintah Indonesia bahwa perjanjian investasi rafat di Bank Century tidak mendapatkan izin berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang disyaratkan ketentuan dalam perjanjian investasi bilateral antara Indonesia dan Inggris.

Kejaksaan Agung Republik Indonesia bekerja sama dengan negara- negara lain, terutama negara-negara yang berpotensi menyembunyikan tersangka/terpidana kasus korupsi dengan harapan bahwa proses penyelidikan, penuntutan dan penuntutan yang dilakukan oleh lembaga mereka dapat bekerja lebih baik di masa depan. Kolaborasi melalui antar lembaga penuntutan negara juga merupakan fokus utama Kejaksaan, sebagai saluran kolaborasi yang efektif dalam proses penanganan tindak pidana korupsi, meskipun koordinasi satu pintu akan terus mengarah pada otoritas pusat, yakni Kementerian Hukum dan HAM RI. Beberapa kerjasama antara Kejaksaan dengan Kejaksaan negara lain yang sudah dilaksanakan antara lain:58

  1. Kejaksaan antara instansi penegak hukum sudah dilaksanakan Kejaksaan dengan Kejaksaan Malaysia dalam hal pertukaran data mengenai warganegara ke dua negara yang bermasalah dengan hukum. Pertukaran data ini dapat dilaksanakan secara langsung melalui computer dalam proses permintaan bantuan
  2. Kesepakatan beberapa negara ASEAN untuk membentuk ASEAN JUST, yang merupakan forum komunikasi para Hakim dan Jaksa di wilayah ASEAN untuk membahas kerjasama, tantangan dan kendala diantara negara-negara di wilayah ini. Sekretariat ASEAN JUST berada di Bangkok, Thailand dan disepakati tempat pelatihan di Jakarta.
  3. Kerjasama Kejaksaan dengan instansi terkait di luar negari untuk menghadirkan saksi dari luar negeri di pengadilan Indonesia, dalam penanganan kasus trafficking. Selain itu, Amerika juga telah meminta kerjasama pemeriksaan saksi melalui fasilitas tele-conference.

Ada beberapa fakta kendala di lapangan yang dihadapi oleh kejaksaan dalam proses melalui jalur formal yaitu Otoritas Pusat, seperti beberapa kasus berikut:59

  1. Dalam kasus Peter Dundas Walbran, Otoritas Pusat menentukan tempat persidangan perkara Peter Dundas Walbran tanpa melaksankan koordinasi terlebih dahulu dengan Kejaksaan RI, akibatnya terjadi kesalahan.Otoritas Pusat dalam hal ini tidak mempunyai kewenangan untuk menentukan tempat persidangan, dan dengan demikian Otoritas Pusat memberikan pendapat dan memberikan keputusan yang salah sehingga menyebabkan permasalahan di lapangan. Selanjutnya Otoritas Pusat meminta penahanan sementara kepada Pemerintah Australia namun tidak diinformasikan kepada Kejaksaan Agung sehingga menimbulkan permasalahan mengenai perhitungan pengurangan masa penahanan terhadap Peter Dundas Wabran (berdasarkan surat Nomor AHU.AH.12.07-12 Tgl. 23/05/2013)
  2. Dalam kasus Imran Firasat Sulaeman, pihak Otoritas Pusat meminta jaminan kepastian kepada Kejaksaan RI untuk tidak akan memberikan tuntutan hukuman mati, tanpa menyertakan berkas dan kronologis perkara dari polisi (berdasarkan surat Nomor AHU.5.AH.12.07-201 Tgl. 25/03/2013). Dokumen-dokumen kelengkapan berkas perkara yang diminta oleh pihak Kejaksaan RI untuk melakukan assessment belum diserahkan oleh pihak otoritas pusat. (B-56/C.7/Chk.2/03/2013 tgl. 26/03/2013). Pihak Otoritas Pusat dalam hal ini tetap mengajukan permintaan Ekstradisi kepada pemerintah spanyol tanpa kelengkapan dokumen berkas perkara sebagaimana yang diminta Kejaksaan.
  3. Permintaan ekstradisi dan MLA warga negara Italia (atas nama Antonino Messicati Vitale) untuk dihadirkan dalam persidangan di Indonesia atas tindak pidana perdagangan orang. Permintaan tersebut belum memenuhi syarat formil karena tidak melampirkan surat persetujuan ekstradisi dari Menteri Sekretaris Negara tgl. 27 Juni 2013 perihal ppersetujuan atas permintaan ekstradisi terhadap Sdr. Antonino Messicati vitale, warga negara Republik Italia). Proses Ektradisi belum dapat dilaksanakan sehingga menunda persidangan di Indonesia (dengan perkiraan 6-7 kali persidangan), meskipun sudah ada penetapan PN Denpasar tanggal 20 November 2013. Sedangkan batas akhir penangguhan penahanan berakhir tanggal 6 Desember 2013. Dalam hal ini, Otoritas pusat tidak melengkapi berkas perkara Kepolisian yang diteruskan kepada Kejaksaan, sehingga terjadi penundaan proses penanganan ekstradisi. Kejaksaan hanya memiliki waktu yang singkat untuk menyelesaikan persidangan terhadap warga negara Italia tersebut. Dalam penanganan perkara ini, Kemlu menyurati Kejaksaan untuk menanyakan proses kelanjutan eksrtadisi yang berlarut-larut dan

hamper melewati batas sehingga pemerintah Italia menanyakan hal tersebut kepada Kedutaan Indonesia di Italia.60

Dalam praktik ditemui bahwa para penegak hukum apabila dimungkinkan oleh Negara Diminta, akan menempuh cara langsung melalui aparat penegak hukum dibanding melalui otoritas pusat.61 Kejaksaan RI sebagai lembaga penegak hukum, saat ini bukanlah otoritas pusat dalam Mutual Legal Assistance, dan cenderung untuk menggunakan cara ini guna penanganan perkara transnasional yang lebih efektif dan efisien. Kejaksaan Agung RI yang sudah tergabung dalam wadah International Association of Prosecutors (IAP), lebih memilih memanfaatkan hubungan baik dengan Kejaksaan negara lain yang selama ini telah terbina melalui wadah tersebut. Permintaan bantuan seringkali dilakukan langsung kepada Kejaksaan pada Negara yang Diminta. Apabila dari Kejaksaan negara yang diminta ternyata memberitahukan, bahwa untuk masalah yang dimohonkan penyelesaian masalah hukum tersebut di negaranya harus melalui government to government yang diwakili oleh otoritas pusat, maka barulah hal tersebut dilakukan. Pertimbangan yang diambil adalah bahwa selama ini proses langsung antar- aparat penegak hukum cenderung lebih cepat dibandingkan melalui otoritas pusat di Kementerian Hukum dan HAM dengan segala kerumitan birokrasinya.

III. PENUTUP
a. Kesimpulan
Dalam upaya ekstradisi dan Mutual Legal Assistance (MLA), kerja sama internasional merupakan suatu hal yang mutlak untuk dilakukan. Selain secara komunikasi informal yang dilakukan oleh para pihak dalam memperoleh informasi, bukti, ataupun dalam proses persidangan terkait upaya pengembalian aset, serta cara formal (MLA) merupakan langkah yang harus dicermati dan dikerjakan dengan sempurna. Saat ini, Kejaksaan

60 Surat Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri Kejaksaan RI kepada Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri perihal Laporan Perkembangan Penanganan Perkara Ekstradisi Atas Nama Antonino Messicati Vitale tanggal 19 November 2013.
61 Irma Sukardi, Mekanisme Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (Mutual
Legal Assistance) dalam Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Berdasarkan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2012, halaman 68.

hanya berfungsi sebagai otoritas berwenang dalam pelaksanaan MLA, dimana otoritas pusat dipegang oleh Kementerian Hukum dan HAM. Namun demikian, Kejaksaan Republik Indonesia tetap berusaha maksimal dalam melaksanakan kerjasama dalam bentuk MLA dengan beberapa Kejaksaan Negara lain berdasarkan Undang-Undang No 1 Tahun 2006, guna menanggulangi kejahatan transnasional yang berkembang saat ini. Untuk memberantas kejahatan transnasional, kecepatan waktu dalam melakukan korespondensi dan kordinasi dengan Negara terkait, memiliki peranan yang sangat penting. Dengan rumitnya jalur birokrasi yang harus dijalani saat ini ditambah dengan lamanya waktu penyelesaian birokrasi yang dibutuhkan, menjadi kendala serius bagi Kejaksaan RI, mengingat Kejaksaan RI saat ini bukan sebagai otoritas pusat dalam pelaksanaan MLA. United Nations Convention on Transnational Organized Crime memang tidak secara spesifik menyebutkan lembaga berwenang sebagai otoritas pusat dalam MLA adalah Kejaksaan suatu negara, namun hampir di seluruh Negara di dunia, otoritas pusat MLA merupakan kewenangan dari Kejaksaan suatu Negara.
b. Saran
Berdasarkan kesimpulan, adapun saran yang dapat penulis sampaikan adalah, agar pemerintah lebih serius dalam upaya penanggulangan kejahatan transnasional. Sudah seharusnya, seperti negara-negara lain yang menandatangani United Nations Convention on Transnational Organized Crime, kewenangan otoritas pusat MLA diserahkan kepada Kejaksaan, karena Kementerian Hukum dan HAM bukanlah lembaga penegak hukum yang dapat memberantas kejahatan transnasional. Dalam praktik, usaha penegakan hukum yang melibatkan lebih dari satu negara sangat sulit, sebab terkait kendala perbedaan sistem hukum, bahasa, dan banyak hal lainnya. Oleh sebab itu, keberadaan otoritas pusat yang dipegang oleh Kementerian Hukum dan HAM harus dikaji kembali. Untuk meningkatkan efektifitas bantuan timbal balik pidana, sebaiknya otoritas pusat berada di Kejaksaan RI. Upaya perburuan koruptor yang dilakukan oleh Tim Terpadu Pemburu Terdakwa, Terpidana dan Aset Koruptor belum maksimal karena Kejaksaan RI selaku Koordinator dalam

tim terpadu tersebut, mengalami kendala birokrasi yang berbelit-belit ketika otoritas pusat dipegang oleh Kementerian Hukum dan HAM.

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, AZ dan Hamzah, Andi. 2010. Pengantar Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Yarsif Watampone.
Agustina, Shinta., 2006. Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Padang: Andalas University Press.
Atmasasmita, Romli., 1997. Tindak Pidana Narkotika Transnasional dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti.
, 2009. Perbandingan Hukum Pidana Kontemporer, Jakarta: Fikahati Aneska.
Ciptowiyono, Isharyanto., 2013. Globalisasi dan Kejahatan Transnasional, Kompasiana, https://www.kompasiana.com/isharyanto/552b6a4a6ea8342f418b4577/glo balisasi-dan-kejahatan-transnasional, tanggal 5 April 2013, diakses tanggal 8 Desember 2018.
Eksa, Golda., 2018. Kejagung RI Gandeng Kejagung Rusia Ungkap Kejahatan Lintas Negara, Politik dan Hukum Media Indonesia, http://mediaindonesia.com/read/detail/188521-kejagung-ri-gandeng-

kejagung-rusia-ungkap-kejahatan-lintas-negara, tanggal 4 Oktober 2018,
diakses tanggal 8 Desember 2018.
Gultom, Elisatris., tanpa tahun. Mutual Legal Assistance dalam Kejahatan Transnasional Terorganisasi, https://elisatris.wordpress.com/mutual-legal- assistance-dalam-kejahatan-transnasional-terorganisasi, diakses tanggal 8 desember 2018.
Hadjar, Abdul Fickar., 2013. Konsepsi Tindak Pidana Transnasional, Kerjasama Internasional dalam Penegakan Hukumnya, Kompasiana, https://www.kompasiana.com/fickar0957/55283f056ea834e71d8b457f/kon sepsi-tindak-pidana-transnasional-kerjasama-internasional-dalam- penegakan-hukumnya, tanggal 4 April 2013, diakses tanggal 8 Desember
2018.
Hiariej, Eddy O.S., 2009. Pengantar Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Erlangga.
Integrated Law Enforcement Approach, https://www.cifor.org/ilea/_ref/ina/instruments/Law_Enforcement/MLA/inde x.htm., diakses tanggal 8 Desember 2018.
Kejaksaan Agung Republik Indonesia., tanpa tahun. Himpunan Perjanjian Ekstradisi, Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana antara Pemerintah RI dengan Negara-negara Sahabat, Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri.
, 2003. Peran Kejaksaan Dalam Proses MLA, Materi Rapat Koordinasi Perencanaan dan Pengangaran Otoritas Pusat dalam rangka Bantuan Timbal Balik di Bappenas, tanggal 27 Mei 2003, Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri.
Kementerian Hukum dan HAM RI., 2012. Central Authority dan Mekanisme Koordinasi Dalam Pelaksanaan Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional.
, 2013. Kompendium Hukum Kerjasama Internasional di Bidang Penegakan Hukum, Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM RI.
Kementerian Luar Negeri RI., 2016. Penanggulangan Kejahatan Lintas Negara Teroganisir, Direktorat Keamanan Internasional dan Pelucutan Senjata, https://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Penanggulangan- Kejahatan-Lintas-Negara-Teroganisir.aspx, tanggal 20 Januari 2016,
diakses tanggal 8 Desember 2018.
Kusumaatmadja, Mochtar., 2003 Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni.
Manthovani, Reda., 2013. Central Authority Dalam Kerjasama Internasional Di Bidang Hukum Pidana, disampaikan dalam Forum Group Discussion mengenai Mutual Legal Assistance di Bappenas, tanggal 3 Juni 2013.
Moeljatno., 1987. Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta.
Olii, M. Irvan., 2005. Sempitnya Dunia, Luasnya Kejahatan? Sebuah Telaah Ringkas Tentang Transnasional Crime, Jurnal Kriminologi Indonesia Volume 4 Nomor 1 September 2005.

Organization of Economic Cooperation and Development., 1997. Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions. 17 Desember 1997.
Parthiana, I Wayan., 1990. Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, Bandung: Mandar Maju.
, 1997. Efektivitas dari Kaidah-kaidah Hukum Pidana Internasional dan Nasional Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana internasional, Bandung: Makalah pada diskusi panel Perkembangan Tindak Pidana Internasional dan Kerjasama Internasional Dalam Pencegahan dan Pemberantasannya, 24 Juli 1997.
, 2002. Hukum Perjanjian Internasional, Bandung: Mandar Maju. Perserikatan Bangsa-Bangsa., 2000. United Nation Convention Against
Transnasional Organized Crime, Pasal 3 Ayat 2. (Sebagaimana telah
diratifikasi kedalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2009).
, 2003. United Nation Convention Against Corruption 2003, Pasal 46 Ayat

  1. (sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006).
    Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Kitab Undang- Undang Hukum Pidana.
    Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185.
    Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi tahun 2003), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 32.
    Setiawan, Azhari., 2016. ASEAN ‘Political-Security’ Community: Kerjasama Multilateral & Mutual Legal Assistance Dalam Menangani Kasus Money Laundering Di Asia Tenggara, Anti-Corruption Clearing House; https://acch.kpk.go.id/id/artikel/riset-publik/asean-community-mekanisme- kerjasama-multilateral-dan-mla-dalam-menangani-kasus-money- laundering-di-asia-tenggara, tanggal 14 September 2016, diakses tanggal 8 Desember 2018.
    Simandjuntak, Marcella Elwina., 2013. Mutual Legal Assistance: Kerjasama Internasional Pemberantasan Korupsi, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro-Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 42 Nomor 1 Januari 2013.
    Sinaga, H. Obsatar., 2016. Penanggulangan Kejahatan Internasional Cyber Crime di Indonesia, Makalah Bahan Diskusi Seminar Nasional Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada tanggal 5 Desember 2016.
    Sinurat, Mekar Paian., 2009. Perbandingan Ekstradisi dan MLA, http://mekar- sinurat.blogspot.com/2009/10/perbandingan-ekstradisi-dan-mla.html, tanggal 1 Oktober 2009, diakses tanggal 8 Desember 2018.
    Sukardi, Irma., 2012. Mekanisme Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana (Mutual Legal Assistance) dalam Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana

Korupsi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, Jakarta: Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Sunarso, Siswanto., 2009. Ekstradisi dan Bantuan Timbal balik dalam Masalah Pidana: Instrumen Penegakan Hukum Pidana Internasional, Jakarta: Rineka Cipta.

  • Post author:
  • Post category:Opini
  • Post comments:0 Comments

Leave a Reply