
RES, ppa.go.id, 10 Oktober 2020
Kejaksaan Negeri (Kejari) Batam melaksanakan upaya penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif terhadap tersangka penjual telur penyu atas nama Janiar alias Etek Niar, Rabu (07/10/2020) bertempat di Kantor Kejaksaan Negeri Batam.
Tersangka Janiar alias Etek Niar terlibat perkara perbuatan mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi khususnya telur penyu.
Jaksa Penuntut Umum, Herlambang Adhi Nugroho sebagai perwakilan pihak Kejari Batam mengungkapkan bahwa Tersangka merupakan seorang penjual sepatu di Tanjungpinang, namun terkadang yang bersangkutan juga berjualan penyu yang didapatnya dari Tambelan. Saat Tersangka ditangkap, Polisi juga turut mengamankan barang bukti berupa 220 butir telur penyu sisik dan 446 butir telur penyu hijau.
Setelah perkara dilimpahkan penyidik kepada Kejari Batam, Jaksa Penuntut Umum kemudian memutuskan untuk melakukan upaya penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sesuai dengan ketentuan yang ada.
“Penghentian penuntutan ini dilakukan berdasarkan pada Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. Keadilan Restoratif ini sendiri adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan,” ujar Herlambang.
Dalam perkara ini, pihak yang dirugikan adalah negara, oleh karena itu pihak Kejari Batam mengundang Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Riau (BKSDA) sebagai perwakilan.
Menurut Herlambang, terdapat 3 syarat prinsip yang harus terpenuhi untuk dilakukannya penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, yakni tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun, dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan tidak lebih dari Rp2.500.000.
“Tersangka melanggar pasal 40 ayat (2) UU RI No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dalam hal ini, kami sebagai fasilitator, dan tersangka memenuhi ketiga syarat tersebut,” kata Herlambang.
Melalui pertemuan pihak-pihak yang terlibat tersebut. Muncul kesepakatan bahwa dapat dilakukan upaya penghentian penuntutan perkara tersebut berdasarkan keadilan restoratif dengan beberapa syarat.
Syarat tersebut berupa Tersangka tidak akan mengulangi lagi perbuatannya serta berjanji akan ikut berperan aktif dalam sosialisasi larangan mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan, atau memiliki telur dan/atau sarang satwa yang dilindungi khususnya telur penyu.
Sosialisasi yang akan dilaksankan oleh Tersangka dilakukan dengan cara membagikan 500 leaflet dan 100 poster di tempat-tempat umum, seperti di Pelabuhan, bandara, mall, pasar, dan lainnya selama satu bulan.
“Tersangka wajib mendokumentasikan dan melaporkan kepada kami sebagai Jaksa Penuntut Umum, penyidik kepolisian Polda Kepri, dan BKSDA Riau. Kalau hal ini tidak dilakukan, maka proses perkara ini akan dilanjutkan ke pengadilan,” tutur Herlambang.
Sementara itu, Herlambang selaku Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Batam juga menambahkan bahwa saat ini pihak Kejaksaan Negeri Batam tengah mengajukan Surat Penghentian Penuntutan kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau.