
ANS, ppa.go.id, 27 Oktober 2020.
Kerugian negara akibat kasus dugaan korupsi terkait impor tekstil pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai Tahun Anggaran 2018-2020 mencapai Rp 1,6 triliun. Dalam kasus ini, penyidik Kejagung telah menetapkan lima orang tersangka. kelima tersangka tersebut yakni, Kepala Seksi Pelayanan Pabean dan Cukai (PPC) I pada Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea Cukai Batam (Haryono Adi Wibowo), Kepala Seksi PPC II KPU Bea dan Cukai Batam (Kamaruddin Siregar), dan Kepala Seksi PPC III KPU Bea dan Cukai Batam (Dedi Aldrian). Kemudian, Kabid Pelayanan Fasilitas Kepabeanan dan Cukai (PFPC) KPU Bea dan Cukai Batam (Mukhamad Muklas), serta pemilik PT. Fleming Indo Batam (FIB) dan PT. Peter Garmindo Prima (PGP) (Irianto).
“Kejaksaan telah menetapkan lima orang tersangka yang diduga merugikan perekonomian negara sebesar Rp 1,6 triliun,” ucap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono di Kompleks Kejagung, Jakarta Selatan, Senin (26/10/20).
Hari menjelaskan, kerugian perekonomian negara akibat korupsi masih belum menjadi perhatian aparat penegak hukum di Tanah Air. Menurutnya, hal itu berdampak pada pemulihan keuangan negara.
“Hal ini menimbulkan tingkat pemulihan keuangan negara seringkali tidak sebanding dengan opportunity cost dan multipliereconomy impact yang timbul sebagai akibat terjadinya tindak pidana korupsi,” terang Kapuspenkum RI.
Kejagung berinisiatif menggunakan pendekatan penghitungan kerugian perekonomian negara dalam kasus impor tekstil tersebut. Penghitungan kerugian tersebut didasarkan pada dua elemen.
“Yaitu, kerugian perekonomian dari penurunan aktivitas industri dalam negeri akibat lonjakan impor barang yang diselidiki. Dan potensi pengeluaran rumah tangga yang hilang akibat pemutusan hubungan kerja dari industri di dalam negeri,” tuturnya kembali.
Kasus ini bermula dari penemuan 27 kontainer milik PT. FIB dan PT. PGP di Pelabuhan Tanjung Priok, pada 2 Maret 2020. Setelah dicek, Bidang Penindakan dan Penyidikan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tanjung Priok menemukan jumlah dan jenis barang dalam kontainer tidak sesuai dengan dokumen.
“Setelah dihitung, terdapat kelebihan fisik barang, masing-masing untuk PT PGP sebanyak 5.075 roll dan PT FIB sebanyak 3.075 roll,” ungkap Hari melalui keterangan tertulis, Selasa (12/5/2020).
Berdasarkan dokumen pengiriman, kain tersebut seharusnya berasal dari India. Padahal kain-kain tersebut berasal dari China dan tidak pernah singgah di India.
Kejaksaan Agung menemukan kapal yang mengangkut kontainer tersebut berangkat dari pelabuhan di Hongkong, singgah di Malaysia dan bersandar di Batam. Dari titik awal, yaitu Hongkong, kontainer mengangkut kain jenis brokat, sutra dan satin. Namun, muatan tersebut dipindahkan tanpa pengawasan otoritas berwajib di Batam.
“Dipindahkan ke kontainer yang berbeda di Tempat Penimbunan Sementara (TPS) di Kawasan Pabean Batu Ampar tanpa pengawasan oleh Bidang P2 dan Bidang Kepabeanan dan Cukai KPU Batam,” tutur Hari.
“Setelah muatan awalnya dipindahkan, kontainer yang sama diisi dengan kain yang lebih murah, yaitu kain polyester. Kontainer kemudian diangkut ke Pelabuhan Tanjung Priok,” jelas Hari menutup penjelasan.