(Pokok – pokok Pikiran Untuk Revisi UU No.16/2004 tentang Kejaksaan)
Oleh Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa,SH.,MH.
Guru Besar Fakultas Hukum Unpad, Bandung

I
Kajian terhadap kedudukan Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dapat dilihat dari 2 (dua) perspektif, yaitu dari perspektif Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara dan dari perspektif konstitusi, – dalam hal ini UUD 194 sebagai landasan konstitusionalnya.
Dari perspektif Hukum Tata Negara / Hukum Administrasi Negara, – sesuai dengan obyek yang menjadi kajian utamanya – maka pembicaraan tentang kedudukan kejaksaan akan berkisar pada dua hal pokok, yaitu kelembagaan, organ, atau jabatan (ambt) dan wewenang (bevoegheid) yang melekat ataupun dilekatkan pada jabata tersebut. Sehubungan dengan itu, Logemann dalam “Over de Theorie van Een Stellig Staatsrecht” menyatakan bahwa “In zijn sociale verschijningsvorm is de staat organisatie, een verband van functies. Met functie is dan bedoeld ; een omschreven werkkring is verband van het geheel. Zij heet, met betrekking tot de staat, ambt. De staat is ambtenorganisatie” ( dalam bentuk kenyataan soaialnya, Negara adalah organisasi yang berkenaan dengan berbagai fungsi. Yang dimaksud dengan fungsi adalah lingkungan kerja yang terperinci dalam hubungannya secara keseluruhan.
Fungsi – fungsi ini dinamakan jabatan, Negara adalah organisasi jabatan).
Lebih lanjut dikatakan oleh Logemann bahwa : “Een ambt is een instituut met eigen werkkring waaraan bij de unstelling duurzaam en welomschreven taak en bevoegdheden zijn verleend “ (Jabatan adalah suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu yang lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang). Senada dengan pendapat Logemann tersebut, Bagir Manan dalam “Pengisian Jabatan Presiden Melalui (dengan) Pemilihan Langsung” mengatakan bahwa Jabatan adalah lingkungan pekerjaan tetap yang berisi fungsi – fungsi tertentu yang secara keseluruhan mencerminkan tujuan dan tata kerja suatu
organisasi. Negara berisi berbagai jabatan atau lingkungan kerja tetap dengan berbagai fungsi untuk mencapai tujuan Negara. Dengan kata lain, jabatan adalah suatu lingkungan pekerjaan tetap (kring van vaste werkzaamheden) yang diadakan dan dilaksanakan guna kepentingan Negara. Jabatan itu bersifat tetap, sedangkan pemegang jabatan atau Pejabat (ambtsdrager) dapat berganti – ganti. F.C.M.A. Michiels dalam “Hoofdzaken van het Bestuursrecht” mengatakan bahwa : “Het ambt blijft, de ambtsdrager wisselen (als gevolg van verkiezingen of benoeming)” : Jabatan itu tetap, para pejabat berganti – ganti (sebagai akibat pemilihan atau pengangkatan).
Sebagaimana dikatakan di atas bahwa Negara itu adalah organisasi jabatan. Artinya dalam Negara dijumpai atau terdapat berbagai macam jabatan dengan berbagai fungsi untuk mencapai tujuan Negara seperti :
– Jabatan alat kelengkapan Negara atau jabatan organ Negara ataupun jabatan Lembaga Negara, baik yang utama (state primary organs) maupun yang bersifat penunjang (State auxiliary organs) ;
– Jabatan Administrasi Negara ;
– Jabatan Politik ;
– Jabatan publik, dan lain sebagainya
II
Sebelum timbulnya berbagai macam jabatan yang ada dalam Negara, pada awalnya – secara teoritik, yaitu dalam perspektif teori Hukum Tata Negara dan Ilmu Politik, terdapat tiga cabang dan fungsi kekuasaan dalam Negara, yaitu Cabang Kekuasaan Legislatif dengan fungsi “law making” ; Cabang Kekuasaan Eksekutif dengan fungsi “law executing”; dan Cabang Kekuasaan Yudikatif dengan fungsi “law enforcement”. Baron de Montesquieu (1689 – 1785) mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan Negara itu dilembagakan masing – masing ke dalam tiga cabang kekuasaan atau organ Negara. Satu organ atau cabang kekuasaan hanya boleh menjalankan satu fungsi dan tidak boleh mencampuri urusan masing – masing cabang kekuasaan dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka kebebasan akan terancam.
Konsepsi yang kemudian disebut dengan Trias Politica tersebut, pada satu sisi dipandang sudah tidak relevan dengan kondisi negara dewasa ini mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga cabang kekuasaan tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga cabang kekuasaan tersebut. Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling berkorelasi, bahkan ketiganya berkedudukan sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. Pada sisi lain, perkembangan masyarakat, baik secara ekonomi, politik maupun sosial budaya serta pengaruh global, menghendaki struktur organisasi negara lebih responsive terhadap tuntutan masyarakat serta lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan pelayanan publik guna mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan. Perkembangan tersebut berpengaruh terhadap struktur organisasi Negara, termasuk bentuk – bentuk dan fungsi – fungsi lembaga negara. Dari perkembangan tersebut lahir kemudian berbagai lembaga Negara sebagai bentuk eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) berupa Dewan (council) ; Komisi (commission) ; Komite (committee) ; Badan (board) atau Otorita (authority). Lembaga – lembaga baru tersebut biasa disebut sebagai lembaga negara yang bersifat penunjang (state auxiliary organs a t a u auxiliary institutions). Di antara lembaga – lembaga tersebut, ada yang disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisory bodies, atau lembaga – lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix – function) antara fungsi – fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga – lembaga baru tersebut. Bahkan ada pula di antara lembaga – lembaga itu yang disebut sebagai quasi non – governmental organization.
Berkembangnya demikian banyak lembaga – lembaga yang bersifat independent tersebut mencerminkan adanya kebutuhan untuk mendekonsentrasikan kekuasaan dari tangan birokrasi ataupun organ – organ konvensional pemerintahan tempat kekuasaan selama masa – masa sebelumnya terkonsentrasi. Sebagai akibat tuntutan perkembangan yang semakin kompleks dan rumit, organisasi – organisasi kekuasaan yang birokratis, sentralistik, dan terkonsentrasi tidak dapat lagi diandalkan. Karena itu pada waktu yang hampir bersamaan, muncul gelombang deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, desentralisasi, dan dekonsentrasi. Salah satu akibatnya, fungsi – fungsi kekuasaan yang biasanya melekat dalam fungsi – fungsi lembaga – lembaga Legislatif, Eksekutif, dan bahkan Yudikatif dialihkan menjadi fungsi organ tersendiri yang bersifat independen. Karena itu, kadang – kadang lembaga – Lembaga baru tersebut menjalankan fungsi – fungsi yang bersifat campuran dan masing – masing bersifat independen (independent bodies). Lembaga – lembaga independen itu sebagian lebih dekat ke fungsi legislatif dan regulatif ; dan sebagian lagi lebih dekat ke fungsi administratif – eksekutif, bahkan ada juga yang lebih dekat kepada cabang kekuasaan Yudikatif.
III
Eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation) juga terjadi di Indonesia, terutama di masa transisi demokrasi setelah berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru. Pasca Orde Baru, yaitu di awal reformasi dilakukan berbagai agenda reformasi yang salah satunya adalah constitutional reform, terutama perubahan UUD 1945 yang dilakukan sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002. Pada masa perubahan UUD 1945 itu terjadi pembentukan atau perubahan dan pembaharuan lembaga – lembaga Negara. Jika dicermati UUD 1945 pasca perubahan, terdapat 34 (tiga puluh empat) lembaga Negara, yaitu :
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) diatur dalam Bab II ;
2. Presiden dan
3. Wakil Presiden, diatur dalam Bab III ;
4. Dewan Perimbangan Presiden diatur dalam Pasal 16 UUD 1945 ;
5. Kementerian Negara diatur dalam Bab V ;
6. Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama – sama sebagai triumvirat diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 ;
7. Menteri Dalam Negeri sebagai triumvirat, diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945
8. Menteri Pertahanan sebagai triumvirat diatur dalam Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 ;
9. Duta Besar diatur dalam Pasal 13 ayat (1), (2) dan (3) UUD 1945 ;
10. Konsul, diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UUD 1945 ;
11. Pemerintahan Daerah Provinsi diatur dalam Bab VI yang mencakup:
12. Gubernur / Kepala Pemerintah Daerah Provinsi ;
13. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD Provinsi) ;
14. Pemerintahan Daerah Kabupaten yang mencakup :
15. Bupati / Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten, dan
16. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten (DPRD Kabupaten) ;
17. Pemerintahan Daerah Kota yang mencakup :
18. Walikota / Kepala Pemerintah Daerah Kota, dan
19. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota (DPRD Kota) ;
20. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang diatur dalam Bab VII UUD 1945 ;
21. Dewan Perwakilan Daerah (DPD), diatur dalam Bab VII A UUD 1945;
22. Komisi Penyelenggara Pemilihan Umum (yang oleh UU dinamakan dengan Komisi Pemilihan Umum / KPU) diatur dalam Bab VII B UUD 1945 ;
23. Satu Bank Central (yang oleh UU disebut dengan Bank Indonesia) diatur dalam Bab VIII ;
24. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diatur dalam Bab VIII A ;
25. Mahkamah Agung (MA) diatur dalam Bab XIV ;
26. Mahkamah Konstitusi (MK) – Bab XIV ;
27. Komisi Yudisial (KY) – Bab XIV ;
28. Tentara Nasional Indonesia (TNI) – Bab XII ;
29. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) – Bab XII ;
30. Angkatan Darat (TNI – AD) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945 ;
31. Angkatan Laut (TNI – AL) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945 ;
32. Angkatan Udara (TNI – AU) diatur dalam Pasal 10 UUD 1945 ;
33. Satuan pemerintahan Daerah yang bersifat Khusus atau Istimewa, seperti diatur dalam Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945 ; dan
34. Badan – badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, diatur dalam Pasal 24 ayat (3) UUD 1945.
Ke 34 (tiga puluh empat) organ tersebut dapat dibedakan dari 2 (dua) segi, yaitu dari segi fungsinya dan dari segi hierarkinya.
Hierarki antar lembaga Negara itu penting untuk ditentukan karena harus ada pengaturan mengenai perlakuan hukum terhadap orang yang menduduki jabatan dalam lembaga Negara tersebut. Mana kedudukannya yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah, perlu dipastikan untuk menentukan tata tempat duduk dalam upacara (Negara atau seremonial lainnya) dan besarnya tunjangan jabatan terhadap para pejabatnya. Untuk itu ada 2 (dua) kriteria yang dapat dipergunakan, yaitu :
(1) Kriteria hierarki bentuk sumber legitimasinya yang secara normative menentukan kewenangannya ; dan
(2) Kualitas fungsinya yang bersifat utama atau penunjang dalam system kekuasaan Negara
Sehubungan dengan hal tersebut, maka dapat ditentukan bahwa dari segi fungsinya, ke 34 lembaga Negara tersebut ada yang bersifat utama atau primer dan ada pula yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary) ; sedangkan dari segi hierarkinya, ke 34 lembaga Negara itu dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) lapis, yaitu : organ lapis pertama, dapat disebut sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs); organ lapis kedua yang disebut sebagai organ pendukung atau penunjang (auxiliary state organs) ; dan organ lapis ketiga yang merupakan organ / lembaga daerah.
Selain itu, ke 34 lembaga Negara itu dapat pula dibagi ke dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu :
Pertama, kelompok lembaga Negara yang utama (primary constitutional organs) :
1. MPR ;
2. DPR ;
3. DPD ;
4. Presiden (dan Wakil Presiden) ;
5. BPK ;
6. MK ; dan
7. MA
Kedua, kelompok lembaga Negara yang kewenangannya secara langsung diberikan oleh UUD 1945 tetapi tidak dapat dikelompokkan sebagai lembaga negara utama, disebabkan oleh :
(i) Fungsinya hanya bersifat supporting ataupun auxiliary terhadap organ Negara yang utama, seperti Komisi Yudisial ;
(ii) Pemberian kewenangan konstitusional yang eksplisit hanya dimaksudkan untuk menegaskan kedudukan konstitusionalnya yang independen, meskipun tetap berada dalam ranah atau domain urusan pemerintahan, seperti Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia ;
(iii) Penentuan kewenangan pokoknya dalam UUD hanya bersifat by implication bukan dirumuskan secara tegas (strict sense) seperti kewenangan sebagai penyelenggara pemilihan umum yang dikaitkan dengan Komisi Pemilihan Umum. Bahkan Komisi Pemilihan Umum ini pun tidak secara tegas ditentukan namanya dalam UUD 1945, melainkan ditegaskan dalam Undang – Undang ;
(iv) Karena keberadaan kelembagaan atau kewenangannya tidak tegas ditentukan dalam UUD, melainkan hanya disebut akan diatur dengan Undang – Undang, seperti keberadaan Bank Sentral yang menurut Pasal 23 D UUD 1945 masih akan diatur dengan Undang – Undang. Tetapi dalam UUD 1945 ditentukan bahwa kewenangannya itu harus bersifat independen. Artinya, by implication kewenangan Bank Sentral itu diatur juga dalam UUD 1945 meskipun bukan substansinya, melainkan hanya kualitas atau sifatnya.
Dengan demikian, di samping lembaga – lembaga Negara yang secara eksplisit disebut dalam UUD 1945, ada pula lembaga – lembaga Negara yang memiliki constitutional importance yang sama dengan lembaga Negara yang disebutkan dalam UUD 1945, meskipun keberadaannya hanya diatur dengan atau dalam Undang – Undang. Baik yang diatur dalam UUD maupun yang hanya diatur dengan atau dalam Undang – Undang, asalkan sama – sama memiliki constitutional importance dapat dikategorikan sebagai lembaga Negara yang memiliki derajat konstitusional yang serupa, tetapi tidak dapat disebut sebagai lembaga Negara yang utama. Di luar lembaga – lembaga Negara yang disebutkan di atas, banyak pula tumbuh lembaga – lembaga, badan – badan, dewan – dewan, komisi – komisi, otoritas ataupun korporasi yang bersifat independen, yang kesemuanya sudah merupakan gejala yang mendunia. Seperti dalam perkembangan di Inggris dan di Amerika Serikat, semua organ tersebut ada yang masih berada dalam ranah kekuasaan Eksekutif, tetapi ada pula yang bersifat independen dan berada di luar wilayah kekuasaan Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Pada umumnya pembentukan lembaga – lembaga independent itu didorong oleh kenyataan bahwa birokrasi di lingkungan pemerintahan dinilai tidak dapat lagi memenuhi tuntutan kebutuhan akan pelayanan umum dengan standar mutu
yang semakin meningkat dan diharapkan semakin efektif dan efisien.
Birokrasi yang gemuk, di samping dinilai tidak efisien untuk kepentingan pelayanan umum (public services), juga dinilai cenderung korup, tertutup, dan tidak lagi mampu menampung aspirasi rakyat yang terus berkembang. Dinamika tuntutan demokrasi, hak – hak warga Negara, dan tuntutan akan partisipasi terus meningkat dari waktu ke waktu. Karena itu, doktrin pembatasan dan pemisahan kekuasaan yang memang sudah dikenal sebelumnya, diperluas pengertiannya sehingga corak bangunan organisasi Negara di – idealkan agar semakin ter – dekonsentrasi dan terdesentralisasi. Organisasi Negara semakin mengalami devolusi, dianggap semakin ideal. Itu sebabnya, di mana – mana organisasi Negara mengalami perubahan drastis, termasuk di Indonesia. Bentuk organisasi pemerintahan yang semula didominasi oleh bangunan struktur departemen pemerintahan dan lembaga pemerintah non departemen, sekarang banyak diisi oleh bentuk – bentuk dewan, badan, dan komisi – komisi. Bahkan di antaranya banyak yang bersifat ad – hoc atau tidak permanen, dan bersifat independen.
IV
Atas dasar perkembangan yang demikian itu, maka keseluruhan lembaga – lembaga yang ada di Indonesia, baik yang didasarkan keberadaannya dalam UUD 1945 maupun dalam peraturan perundang – undangan lainnya, dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Lembaga Negara utama :
a. MPR ;
b. DPR ;
c. DPD ;
d. Presiden dan Wakil Presiden ;
e. BPK ;
f. MA ; dan
g. MK.
2. Lembaga Negara dan Komisi – Komisi Negara yang bersifat independen
berdasarkan UUD 1945 atau yang memiliki constitutional importance,
seperti :
a. Komisi Yudisial ;
b. Bank Indonesia sebagai Bank Sentral ;
c. Tentara Nasional Indonesia (TNI) ;
d. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) ;
e. Komisi Pemilihan Umum ;
f. Kejaksaan Agung, yang meskipun belum ditentukan kewenangannya dalam UUD 1945 melainkan hanya dalam UU, tetapi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum pro justisia, juga memiliki constitutional importance yang sama dengan Kepolisian ;
g. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang meskipun keberadaannya dibentuk dengan Undang – Undang tetapi memiliki sifat constitutional importance berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945;
h. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS – HAM) yang dibentuk berdasarkan Undang – Undang tetapi juga memiliki sifat constitutional importance.
Dengan demikian, dari sisi kelembagaan tampak jelas bahwa institusi Kejaksaan merupakan lembaga negara yang memiliki constitutional importance yang sama dengan Kepolisian, KPK, dan Komnas HAM. Hanya saja, institusi Kejaksaan sebagai penegak hukum pro justisia tidak diatur keberadaannya secara eksplisit dalam UUD 1945, melainkan diatur dalam Undang – Undang Kejaksaan, sedangkan Kepolisian yang juga sebagai penegak hukum pro justisia selain keberadaannya secara tegas diatur dalam (ketentuan Pasal 30) UUD 1945, juga diatur dalam UU Kepolisian (No.2 Tahun 2002). Karena itu, dilihat dari sisi kelembagaan, tidak ada alasan untuk tidak memberikan tempat dan landasan pengaturan bagi keberadaan kejaksaan dalam UUD 1945 pasca amandemen. Bahwa ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945 pasca amandemen yang berbunyi : “Badan – badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang – undang”, bukanlah “pintu masuk” (entry point) bagi keberadaan Kejaksaan dalam UUD 1945, malainkan sebagai kaidah penunjuk (sekaligus bersifat imperatif / perintah) kepada pembentuk Undang – Undang (wetgever) agar badan – badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman (- seperti Kejaksaan, KPK, dll) diatur dalam Undang – Undang.
V
Untuk memperjelas dan mempertegas kedudukan, – dalam arti letak tempat kejaksaan dalam ranah kekuasaan yang ada, di bawah ini disampaikan beberapa pokok pikiran sebagai b rikut :
Pertama,ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menentukan secara tegas bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum. Salah satu unsur utama negara hukum adalah supremasi hukum (supremacy of law) yang mengandung arti bahwa hukumlah yang supreme, berdaulat atau pun tertinggi dalam negara. Semua warganegara tunduk pada hukum dan segenap penyelenggara negara dalam setiap tindakan ataupun keputusannya harus didasarkan atau berdasar atas hukum ;
Kedua, Kepolisian, Kejaksaan, dan khususnya Hakim (sebagai pelaku kekuasaan kehakiman)
adalah penegak hukum yang berperan penting di dalam menegakkan supremasi hukum, yang terejawantahkan ke dalam bentuk pelaksanaan tugas – wewenangnya masing – masing, yaitu :
– Kepolisian mempunyai tugas utama menegakkan hukum dan ketertiban (law and order), khususnya sebagai penyelidik dan penyidik tunggal dalam perkara pidana umum ;
– Kejaksaan dengan tugas utama sebagai institusi yang berwenang melakukan penuntutan sebagai upaya memberikan perlindungan terhadap kepentingan umum ; dan
– Hakim (sebagai pelaku kekuasaan kehakiman) mempunyai tugas utama mengadili dengan memberikan jaminan kepastian hukum, keadilan, dan manfaat serta perlindungan terhadap hak asasi manusia ;
Ketiga, Kejaksaan, dengan tugas utamanya sebagai lembaga yang berwenang melakukan
penuntutan dalam bidang pidana, dan tugas – wewenang lain di bidang perdata dan Tata Usaha Negara serta tugas wewenang di bidang ketertiban dan ketentraman umum, adalah tugas wewenang yang berada dalam ranah eksekutif sebagai bagian dari kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan yang bersifat umum.Tugas – wewenang memelihara, menjaga, menegakkan, dan memulihkan keamanan dan ketertiban umum merupakan tugas wewenang paling awal dan tradisional setiap pemerintahan. Bahkan dapat dikatakan bahwa asal mula pembentukan negara dan pemerintahan, pertama – tama ditujukan pada usaha memelihara, menjaga, menegakkan dan memulihkan keamanan dan ketertiban umum. Tugas semacam ini terdapat juga dalam tujuan membentuk Negara / Pemerintahan Indonesia merdeka, sebagaimana tertuang dalam
Alinea IV Pembukaan UUD 1945 : “Melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,………” Hipotesis atau asumsi – asumsi Teori Perjanjian tentang asal mula negara
(baik yang dikemukakan Thomas Hobbes, John Locke maupun J.J. Rousseau) berpangkal dari state of nature yang bagaimanapun tentramnya, akan selalu mengandung ancaman bagi keselamatan individu atau kelompok selama tidak ada negara atau pemerintahan yang menjamin keamanan, ketertiban, dan ketentraman. Thomas Hobbes dalam Leviathan menggambarkan situasi tanpa negara atau pemerintahan itu sebagai homo homini lupus bellum omnium contra omnes – semua orang selalu dalam keadaan bermusuhan satu sama lain (every man againt every man) ;
Keempat,Kejaksaan dengan tugas utamanya sebagai institusi atau lembaga yang berwenang
melakukan penuntutan bertujuan untuk memulihkan dan menyeimbangkan kembali ketertiban dan ketentraman umum yang terganggu akibat adanya tindak pidana yang menimbulkan keresahan dan ketidak tertiban dalam masyarakat. Hal itu merupakan bagian dari penyelenggaran pemerintahan yang bersifat umum. Itulah sebabnya Kejaksaan dengan tugas utamanya sebagai lembaga yang berwenang melakukan penuntutan, – di manapun di dunia ini – tidak pernah dikategorikan sebagai Tindakan yudikatif, melainkan merupakan tindakan eksekutif. Apalagi Kejaksaan mempunyai tugas – wewenang lain seperti penyidikan (dalam perkara pidana tertentu), pengawasan, dan lain sebagainya, semuanya itu adalah juga merupakan tindakan eksekutif.
Kelima, oleh karena tugas – wewenang Kejaksaan sebagaimana disebutkan di atas merupakan tindakan eksekutif, maka institusi kejaksaan sepenuhnya ditempatkan atau berada di ranah eksekutif. Terutama sejak kembali ke UUD 1945 dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, melalui Undang – Undang Kejaksaan, baik yang pernah ada atau berlaku (yaitu UU No. 15 Tahun 1961 dan UU No, 5 Tahun 1991) maupun yang kini tengah berlaku (yaitu UU No.16 Tahun 2004), semuanya mengatur dan menentukan bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah, yang mengandung arti berada di ranah kekuasaan Eksekutif. Sejak saat itu pula, Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggungjawab tertinggi Kejaksaan selalu menjadi bagian atau anggota kabinet, baik dengan status menteri ataupun dengan status sebagai pejabat (negara) setingkat Menteri. Karena itu, sangat beralasan dan memiliki ratio legis yang kuat bahwasanya Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden berdasarkan hak prerogatif yang dimilikinya tanpa persetujuan DPR, seperti halnya menteri (-menteri) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (vide Pasal 17 ayat 1 UUD 1945).
Bandung, 15 Oktober 2020
Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, SH.,MH.
Guru Besar Fakultas Hukum Unpad, Bandung
DAFTAR PUSTAKA
– Bagir Manan, Hukum Positif Indonesia, FH UII Press, Yogyakarta, 2004
– Damen, L.J.A., et al, Bestuursrecht, Den Haag, Tweede Druk, 2005
– Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, KONpress, Jakarta, 2006
– Logemann, Over de Theorie van Een Stellig Staatsrecht, Seksama, Jakarta, 1954
– Michiels, F.C.M.A., Hoofdzaken van het Bestuursrecht, 3e Druk, Kluwer,Devender, 2003
– Montesquieu, dalam Clarence Morris, The Great Legal Philopkers, Univ.of Pennsylvania Press, 1979
– Nicolai, P., Bestuursrecht, Amsterdam, 1994
– Philipus M. Hadjon, et al, Hukum Administrasi dan Good Governance, Usakti, Jakarta, 2010
– Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta,2013 Makalah
– Bagir Manan, Pengisian Jabatan Presiden Melalui (dengan) Pemilihan Langsung, Makalah, tanpa tahun
– http://yusril,ihzamahendra.com/2010/08/20/kedudukan-kejaksaan-dan-posisijaksa-agung-dalam-sistem-presidensial-di-bawah-uud-1945-oleh-prof-dr-yusrilihza-mahendra/.,diakses tanggal 15 September 2017