
ANS, Portal Pro Adjudicatio, Jum’at 13 November 2020
Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus, Ali Mukartono melaksanakan kegiatan orientasi bagi calon anggota Satuan Tugas Khusus Penanganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Khusus (Satgassus P3TPK) Tahun 2020 yang diselenggarakan secara vitual ke seluruh Indonesia pada Kamis (12/11/20).
Orientasi yang diisi dengan focus group discussion (FGD) dilaksanakan dengan mengambil tema “Optimalisasi Penindakan Delik Kolusi dan Nepotisme Sebagai Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi”.
Acara tersebut diselenggarakan untuk memberikan pembekalan bagi calon anggota Satgassus P3TPK yang akan dilantik besok hari Jumat tanggal 13 November 2020 di Aula Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus oleh Jaksa Agung RI.
Dalam kegiatan tersebut turut dihadiri, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono, S.H., M.H., Sekretaris JAM Pidsus Raja Nafrizal, S.H., M.H., Staf Ahli Jaksa Agung RI. Bidang Tindak Pidana Khusus Dr. Sudung Situmorang, S.H., M.H., Para Direktur JAM Pidsus serta seluruh calon anggota P3TPK di Aula Sasana Pradata Kejaksaan Agung RI. Jakarta Selatan.
Sementara dari daerah hadir para Kepala Kejaksaan Tinggi dan para Kepala Kejaksaan Negeri beserta jajaran Bidang Tindak Pidana Khusus dari masing-masing kantor di seluruh wilayah Indonesia.
Narasumber yang hadir ditempat acara maupun yang hadir secara virtual yaitu sebagai berikut :
Dr. Ramelan, SH. MH. (Mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus), Prof. Dr. Romly Atmasasmita, SH. LLM (Guru Besar Univesitas Padjajaran), Prof. Andi hamzah, SH. MH. (Guru Besar Univesitas Trisaksi / Mantan Jaksa / Widyaiswara Luar Biasa Badiklat Kejaksaan RI), Prof. Dr. Topo Santoso, SH. MH, (Guru Besar Univesitas Indonesia) dan Dr. Sugeng purnomo, SH. MH. (Deputi Menko Polhukam Bidang Hukum dan Hak Azasi Manusia)
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono, S.H., M.H. menyampaikan, Optimalisasi atau pengoptimalan adalah suatu proses atau cara untuk menjadikan “sesuatu” menjadi paling baik atau paling tinggi. “Sesuatu” itu sebagai objek, adalah penindakan delik kolusi dan nepotisme, sedangkan “sebagai upaya pencegahan tindak pidana korupsi” adalah menunjukkan alat atau instrumen mencapai tujuan yaitu suatu situasi dan kondisi yang memungkinkan tindak pidana korupsi tercegah atau menjadi tidak terjadi.
Sebelum dibahas lebih mendalam tema di atas, perlu dijelaskan bahwa secara historis menjelang tahun 1998, gelombang unjuk rasa menuntut reformasi di berbagai aspek kehidupan nasional, 3 yang dipicu adanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pada masa pemerintahan Orde Baru yang sedemikian masif, sehingga muncul stigma negatif masyarakat terhadap dinasti yang berkuasa pada saat itu dengan sebutan “kroni keluarga penguasa” yang dikaitkan dengan praktek KKN dalam penyelenggaraan Negara.
Gelombang unjuk rasa tersebut menyadarkan kepada kita semua bahwa persoalan bangsa pada saat itu bukan hanya masalah korupsi tetapi juga kolusi dan nepotisme. Akan tetapi, perangkat hukum yang ada pada saat itu hanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga aparat penegak hukum hanya melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi sedangkan terhadap perbuatan kolusi dan nepotisme belum dapat dilakukan penegakan hukum.
Kondisi tersebut direspon oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan menerbitkan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tanggal 13 November 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Selanjutnya Pemerintah dalam rangka melaksanakan ketetapan MPR tersebut, menerbitkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Hal tersebut mengindikasikan adanya 5 kekeliruan dalam pengelolaan politik penegakan hukum nasional, yang tidak berubah pada masa orde baru sampai dengan pasca reformasi saat ini. Pada hal perbuatan kolusi dan nepotisme pasca reformasi cenderung lebih masif daripada sebelum reformasi. Jika kondisi tersebut berlangsung terus menerus bukan tidak mungkin akan memicu penggulangan terjadinya reformasi gelombang kedua,” terang Ali.
Disamping adanya kekeliruan dalam politik penegakan hukum sebagaimana terurai di atas, juga terdapat keragu-raguan di antara para penegak hukum sendiri yang memandang apakah perbuatan kolusi dan nepotisme sebagai delik atau bukan. Karena sebagian mengatakan bahwa perbuatan kolusi dan nepotisme bukanlah tindak pidana yang berdiri sendiri namun merupakan bagian dari tindak pidana korupsi.
Untuk menjelaskan masalah ini, perlu dicermati materi yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 yang mengatur tentang kolusi dan nepotisme. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa belum optimalnya penindakan terhadap delik kolusi dan nepotisme bukanlah disebabkan karena politik hukumnya akan tetapi lebih kepada politik penegakan hukumnya.
Meskipun secara politik hukum relatif tidak ada kesalahan, akan tetapi apakah secara materiil delik kolusi dan nepotisme dapat diposisikan sebagai sarana untuk mencegah tindak pidana korupsi sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR Nomor VIII/MPR/2001
Pasal 1 Angka 4 menyatakan kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara.
Sehingga secara teoritis penindakan terhadap perbuatan kolusi dan nepotisme secara tidak langsung dapat mencegah terjadinya tindak pidana korupsi karena penindakan terhadap perbuatan kolusi dan nepotisme tidak perlu menunggu adanya kerugian keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi.
Adanya pembatasan subjek hukum di dalam perbuatan kolusi dan nepotisme sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Nomor 28 Tahun 1999 sehingga tidak dapat menjangkau Aparatur Sipil Negara selain Pejabat Eselon I, baik di Kabupaten, Kota, Provinsi maupun di Pusat.
Adanya ketidakjelasan subjek hukum selain penyelenggara negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana antara yang dirumuskan di Pasal 1 Angka 4 UU Nomor 28 Tahun 1999 yakni adanya subjek hukum “pihak lain” sementara di dalam Penjelasaan Umum Angka 2 dan Angka 3 membatasi hanya berlaku untuk penyelenggara negara.
Tidak ada pembatasan definisi siapa yang disebut “kroni dan keluarga” dalam Pasal 1 Angka 5 UU Nomor 28 Tahun 1999. Tidak ada penjelasan secara rinci terkait unsur “diatas kepentingan Masyarakat, Bangsa dan Negara ” dalam Pasal 1 Angka 5 UU Nomor 28 Tahun 1999.
“Para Peserta FGD Bidang Pidsus, yang saya banggakan Itulah kira-kira beberapa problematika terkait penindakan tindak pidana kolusi dan nepotisme untuk dibahas dan didiskusikan dalam kesempatan FGD ini.” ujar Ali Mukartono, S.H., M.H. menyimpulkan sambutannya.
“Apabila problematika tersebut dapat diatasi maka penindakan tindak pidana kolusi dan tindak pidana nepotisme dapat dilakukan secara efektif, sekaligus pula telah dilakukan pencegahan terjadinya tindak pidana korupsi,” tambahnya.
Perlu juga diingatkan bahwa apabila kita hanya fokus pada pemberantasan tindak pidana korupsi, maka sesungguhnya kita kalah 3 (tiga) langkah dengan para koruptor. Karena dalam pemberantasan tindak pidana korupsi harus membuktikan unsur kerugian keuangan negara.
Sedangkan pemberantasan tindak pidana korupsi belum tentu dapat memulihkan kerugian keuangan negara yang terjadi.
Hak-hak sosial dan ekonomi tidak dapat dipenuhi secara maksimal karena pembangunan terhambat sebagai akibat tindak pidana korupsi.
“Saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh narasumber yang akan memberikan wawasan terkait penindakan tindak pidana kolusi dan tindak pidana nepotisme, semoga pencerahannya dapat menginspirasi dan memotivasi peserta FGD untuk berlaku kreatif membuat terobosan-terobosan baru sebagai upaya penyelesaian problematika yang dihadapi dalam penindakan tindak pidana kolusi dan nepotisme,” ucap Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mengakhiri sambutannya.
Selain itu, beliau juga berharap agar segenap peserta FGD untuk berdiskusi dan membahas dengan mencurahkan segenap daya pikir dan kreavitas yang ada, Sehingga dalam FGD ini dapat terlahir rumusan rekomendasi yang aplikatif dan dapat diterapkan dalam praktik penegakan hukum khususnya penindakan tindak pidana kolusi dan nepotisme.