Foto: Ilustrasi Hukum (medcom.id)

RES, ppa.go.id, 22 Oktober 2020

Mengingat banyaknya aspek hukum yang berkembang dan perlu diperbaharui, revisi atas UU Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia dinilai sebagai suatu keniscayaan.

Hal tersebut disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof Dr. Juanda, S.H., M.H., dalam tanggapannya terkait pembahasan Rancangan Undang Undang (RUU) Kejaksaan dalam rangka merevisi UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, Rabu (21/10/2020).

Aspek hukum yang perlu diperbaharui, kata Juanda, salah satunya contohnya seperti yang terjadi di masa Pandemi Covid-19 ini, dimana terjadi perubahan tata cara persidangan setelah sistem persidangan daring diakomodasi.

Selain itu, Ia mengatakan adanya pergeseran paradigma keadilan, dari semula yang mengedepankan keadilan retributif (penghukuman) menjadi ke arah keadilan restoratif. Dalam rangka menganggapi perubahan tersebut, Kejaksaan Agung telah mengeluarkan Peraturan jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Terkait dengan pembahasan RUU Kejaksaan, Juanda menilai bahwa secara substansi revisi UU Kejaksaan harus dapat memperkuat Kejaksaan Agung, sekaligus menjadi momentum menciptakan penegakan hukum yang lebih berkeadilan.

“Bahasa saya itu diharapkan, untuk memperkuat Kejaksaan baik secara kelembagaan maupun secara tugas wewenang dan fungsinya, sehingga bisa lebih efektif, lebih berwibawa, lebih dirasakan kehadirannya oleh negara dalam rangka penegakan hukum di Indonesia,” ujarnya.

Menurut Juanda, revisi tersebut merupakan sebuah kebutuhan organisasi maupun kebutuhan kelembagaan dengan perkembangan berbagai dinamika di lapangan, yang dalam hal in berkaitan dengan tugas dan fungsi Kejaksaan sebagai penegak hukum.  

“Khususnya dalam kerangka melakukan penuntutan dalam sebuah perkara pidana atau melakukan penyidikan dalam rangka untuk melakukan tindak pidana khusus, misalnya seperti korupsi, kalau itu dalam kerangka itu saya kira perlu didukung oleh semua pihak,” tuturnya.

Meski demikian, Guru Besar IPDN itu juga menambahkan bahwa hanya dengan merevisi undang-undangnya saja tidak cukup untuk menghadapi dinamika dan problematika berbagai masalah yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) Kejaksaan, melainkan diperlukan juga perbaikan kualitas budaya, mental, dan sikap dari para Jaksa itu sendiri.

Selain diperbaiki dari aspek undang-undangnya, ungkap Juanda, diharapkan dari aspek personil atau aparatur Kejaksaannya juga harus dilakukan pembenahan, baik dari segi kualitasnya, integritasnya, serta komitmennya untuk mengacu dan menjalankan UU yang nantinya akan disahkan atau diberlakukan.

Selanjutnya, Ia juga menyarankan agar para petinggi di Kejaksaan Agung benar-benar melakukan berbagai upaya untuk membenahi internal Kejaksaan atau personilnya jika terdapat kelemahan.

“Tentunya untuk membenahi internal dan tentu memberi contoh-contoh sebagai pimpinan tinggi di Kejaksaan Agung misalnya, di jajaran Jaksa Agung, di jajaran Wakil Jaksa Agung, jajaran Jaksa Agung muda, misalnya, itu benar-benar memberi contoh bersikap tegas untuk mereformasi hal-hal yang belum bagus,” saran Juanda.

Leave a Reply